A.
Pengertian
Ekonomi Islam
Kata ekonomi berasal
dari bahasa Yunani, yaitu ‘oikonomeia’
yang asalnya dari dua suku kata, yaitu ‘oikos’
(rumah tangga, keluarga) dan ‘nomos’
(aturan, kaidah atau pengelolaan). Dengan demikian ekonomi memiliki arti
membicarakan aturan, kaidah dan cara mengelola suatu rumah tangga manusia.
Ekonomi memiliki sistem
yang berbeda sesuai dengan praktik dalam pengerjaannya, diantaranya adalah
sistem ekonomi Islam. Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang ekonomi
Islam :
1.
Menurut Apridar (2012:127) sistem ekonomi Islam atau sistem ekonomi syariah
merupakan pengetahuan ilmu sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat yang diilahami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan
agama islam dan didasari pada aturan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun
iman dan rukun Islam.
2.
Nejatullah Shiddiqi dalam Abdullah (2010) menjelaskan bahwa pemikiran ekonomi
Islam merupakan respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi
pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran
Al Quran dan sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Objek
kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran tentang ekonomi, tetapi
pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka
memahami ajaran Al Quran dan sunnah tentang ekonomi. Objek pemikiran ekonomi
islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam.
3.
Mannan (1997), ekonomi Islam adalah “Islamics
problems of a people imbued with the economics problems of a people imbued with
the values of Islam” (Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial
yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh
nilai-nilai Islam). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ilmu ekonomi
Islam tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan
bakat relegius manusia itu sendiri. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan dan
kurangnya saran, maka timbullah masalah ekonomi, baik dalam ekonomi modern
maupun dalam ekonomi Islam (Hak, 2011).
Dari
beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ekonomi Islam adalah
sebuah ilmu yang didasarkan atas al-Qur’an dan Hadis. Ini berarti bahwa kata
Islam sebagai syarat suatu perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan didasarkan
atas pedoman ekonomi Islam. Maka kalau kata ekonomi tidak disandingkan dengan
kata Islam, maka tidak menggunakan dasar al-Qur’an dan hadis. Namun, hal ini
akan menimbulkan masalah apabila dalam praktiknya ekonomi Islam tidak sesuai
dengan apa yang diidealkan, sehingga menyebabkan Islam akan kehilangan makna
sebagai pedoman yang paling sempurna untuk manusia (Sudarsono, 2002).
B.
Perkembangan
Ekonomi Islam
1.
Kebijakan
dan Praktek Ekonomi Pada Masa Rasulullah Saw
Sebelum
kelahiran Rasulullah, jazirah arab terutama kota Mekah telah mengenal kehidupan
perniagan dikarenakan letaknya strategis dalam jalur niaga antara Yaman di
selatan dan Syriah di Utara. Dalam melakukan transaksi perniagaan, riba menjadi
hal yang umum dalam bertransaksi. Salah satu sistem riba yang terjadi pada masa
itu, salah satunya adalah ketika seorang meminjamkan uang dengan jangka waktu
tertentu. Namun, bila uang yang dipinjam melebihi batas waktu pengembalian maka
uang yang dikembalikan harus disertai tambahan uang.
Diangkatnya seorang rasul (Nabi Muhammad)
dari Mekah tidak mendapatkan sambutan baik oleh mayoritas penduduk Mekah. Pada
awal masa kenabian di Mekah, Rasulullah hanya terfokus pada dakwah Islam. Namun
setelah melakukan hijrah ke Madinah, Rasulullah dan para sahabat mulai
menjalankan sistem ekonomi Islam yang sesuai Al Quran dan Hadist. Sistem ekonomi
Islam mulai terbangun di kota Madinah dimana mayoritas masyarakatnya hidup
dengan pengelolaan lahan berbeda dengan Mekah yang masyarakatnya berniaga.
Prinsip-prinsip
ekonomi yang dijelaskan dalam Al Quran, yaitu:
a.
Allah merupakan
penguasa dan pemilik alam semesta.
b.
Manusia merupkan
khalifah di bumi, bukan pemilik sesungguhnya.
c.
Segala yang didapatkan
dan dimiliki manusia adalah atas kehendak Allah. Atas dasar itu, di dalam harta
seseorang terdapat harta orang lain yang berhak.
d.
Kekayaan harus diputar
dan tidak boleh ditimbun.
e.
Eksploitasi ekonomi
apapun bentuknya harus dihilangkan termasuk riba.
f.
Ditetapkannya sistem
warisan sebagai media re-distribusi kekayaan.
g.
Menetapkan kewajiban
bagi seluruh individu, termasuk orang-orang miskin.
Selain
itu, Rasulullah menjalankan kebijakan fiskal dan moneter serta mendirikan lembaga
pengumpul dan pengeluaran dana atau rumah dana (baitul mal). Diantaranya adalah
sebagai berikut :
a.
Kharaj
yatitu pajak terhadap tanah
b.
Zakat
c.
Khums
yaitu pajak proposional sebesar 20%
d.
Jizyah
yaitu pajak kepada non-muslim terhadap pelayanan sosial-ekonomi dan
perlindungan di negara Islam
e.
Kaffarah
dan harta waris dari orang yang tidak menjadi ahli waris
Untuk pengeluaran baitul
mal dialokasikan untuk penyebaran Islam, pendidikan dan kebudayaan,
pengembangan ilmu pengetahuan, pembangunan infrakstruktur, pembangunan armada
perang dan keamanan, dan penyediaan layanan kesejahteraan sosial (Amalia:2010).
2.
Kebijakan
dan Praktek Ekonomi Pada Pemerintahan Sahabat (Khulafa al-Rasyidun)
Setelah
Rasulullah wafat, kepimpinan Islam dilanjutkan oleh para sahabat yaitu Abu
Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib.
2.1 Abu
Bakar ash-Shiddiq (51 SH-13 H/537-634 M)
Namanya
lengkapnya adalah Abdullah Ibn Abu Quhafah al-Tamimi, khalifah pertama setelah
wafatnya Rasulullah, salah seorang yang pertama masuk Islam (al-sabiqun al-awwalun) dan masa
kepimpinannya selama dua tahun.
Tidak banyakan kebijakan ekonomi baru
yang dilaksanakan ketika masa kepimpinan Abu Bakar dan melanjutkan kebijakan
yang dilakukan oleh Rasulullah. Saat menjadi khalifah, kepimpinannya banyak
menghadapi persoalan dari kaum murtad, pembangkang zakat dan nabi palsu.
Khalifah
Abu bakar as shidiq melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi seperti yang telah
di praktikan oleh Rasulullah :
a. Memperhatikan lebih akurat tentang
perhitungan zakat.
b. Melaksanakan kebijakan tanah hasil taklukan.
c. Mengambil alih tanah-tanah dari orang murtad
untuk dimanfaatkan demi
kepentingan
umat Islam.
d. Mendistribuskan baitul mal sesegara mungkin
dan menerapkan kesamarataan dalam membagikan baitul mal.
2.2 Umar bin Khattab (40 SH-23 H/584-644 M)
Khalifah
kedua setelah wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq adalah Umar bin Khattab.
Kekhalifahaan Umar bin Khattab berlangsung selama 10 tahun dan ia
memperkenalkan diri sebagai Amir
al-Mukminin (komandan orang-orang yang beriman). Selama memimpin, ia
berhasil memperluas wilayah Islam hingga jazirah arab, sebagian wilayah
kekuasaan romawi seperti Syiria, Palestina, dan Mesir, serta seluruh wilayah
kerajaan Persia. Atas ekspansi ini, ia mendapatkan julukan dari orang barat the Saint Paul of Islam.
Meluasnya wilayah kekuasaan Islam, Umar
bin Khatab mengambil kebijakan untuk menggunakan dana baitul mal secara
bertahap sesusai kebuthan dan disediakan dana cadangan. Tidak seperti masa
Rasulullah dan Abu Bakar ash-Shiddiq, dimana dana baitu mal disalurkan
langsung. Baitul mal berkembang dan mendapatkan dana lebih banyak pada masa
khalifah Umare bin Khatab. Sehingga baitul dijadikan sebagai lembaga reguler
dan permanen. Dengan dibukanya cabang-cabang di ibu kota Privinsi dengan pusat
di Madinah.
Beberapa
kebijakan ekonomi yang dilakukan pada masa khalifah Umar bin Khatab, antara
lain :
a. Memperlakukan
tanah-tanah taklukan tetap pada pemiliknya dengan syarat membayar kharaj dan jizyah.
b. Menetapkan
kuda, madu dan karet sebagai objek zakat karena ketiga hal itu dijadikan perdagangan
dengan skala besar.
c. Menerapkan pajak ‘ushr kepada para pedagang yang memasuki wilayah Islam.
d. Menetapkan
dirham perak seberat 14 qirat atau 70
grain barley.
2.3 Ustman
bin Affan (47 SH- 35 H/577-656 M)
Sebelum
wafatnya Umar bin Khatab, dalam menentukan khalifah selanjutnya dibentuklah tim
yang terdiri dari enam orang yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Thalhah, Zubair bin al-Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin ‘Auf. Dari
musyawrah tersebut terpililah Utsman bin Affan sebagai khalifah selanjutnya
menggantikan Umar bin Khatab.
Masa kepimpinan Utsman bin Affan
berlangsung selama 12 tahun. Dalam enam tahun kepimpinannya Utsman bin Affan
mampu mengekspensi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan bagian yang
tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabaristan. Selain itu ia juga berhasil
menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariah.
Khalifah Utsman bin Affan mengambil
langkah tidak mengambil upah dari kantornyadan menyimpannya di perbendaharaan
negara. Ia tetap memberikan bantuan dan santunan seperti khalifah sebelum
dirinya. Utsman tidak memiliki kontrol harga pasar, tetapi ia selalu
mendiskusikan tingkat harga yang sedang berlaku di pasaran dengan seluruh kaum
Muslimin seusai sholat berjamaah.
Namun selama pemerintahannya, Utsman bin
Affan menemui banyak konflik dan kekacauan politik. Sehingga tidak ada
kebijakan ekonomi yang cukup signifikan dijalankan.
2.4 Ali
Ibn Abi Thalib (23 SH-40 H/600-661 M)
Ali
bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah keempat menggantikan Utsman bin Affan
yang terbunuh. Masa kepemimpinnanya berlangsung selama enam tahun dengan
banyaknya konflik dan permasalahan dari kaum pemberontak. Salah satu masalah
utama dari masa khalifah Ali bin Abi Thalib adalah tuntutan pembunuhan Utsman
bin Affan.
Adanya masalah dan konflik tidak
menjadikan pemerintahan Ali bin Abi Thalib stagnan terlebih dalam perekonomian.
Ia mengelola perekonomian dengan hati-hati terlebih dalam membelanjakan
keuangan negara. Bahkan diriwayatkan juga
Ali menarik diri dari daftar penerima gaji. Langkah penting yang
dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib adalah pencetakan mata uang sendiri atas
nama pemerintahan Islam.
Kebijakan
Ali bin Abi Thalib di bidang ekonomi, antara lain :
a.
Mengedepankan prinsip pemerataan dalam pendistribusian kekayaan negara kepada
masyarakat.
b. Menetapkan pajak terhadap para pemilik kebun
dan mengijinkan pemungutan zakat terhadap sayuran segar.
c. Melakukan kontrol pasar dan pemberantas
pedagang licik, penimbunan barang , dan pasar gelap.
d. Membentuk petugas keamanan yang disebut
dengan syurthah (polisi) yang
dipimpin oleh Shahibus-Syurthah.
e. Ketat dalam menangani keuangan negara dan
melanjutkan kebijakan dari khalifah sebelumnya.
3.
Kebijakan
dan Praktek Ekonomi Pada Daulah Umayyah, Abbasiyah dan Turki Utsmani
Berakhirnya
kekhalifahan para sahabat digantikan oleh pemerintahan yang didasari oleh garis
keturunan (monarki). Hal yang berbeda dari pemerintahan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sampai Khulafa al-Rasyidin (sahabat) dimana
musyawarah menjadi pilihan utama dalam menentukan pemimpin. Pemerintahan
setelah masa Khulafa al-Rasyidin
banyak mengalami penyimpangan di luar jalur Islam. Namun dari penyimpangan ini
munculah beberapa tokoh-tokoh Islam yang kembali membawa pemerintahan pada
jalur Islamnya.
3.1 Masa
kepemimpinan Daulah Umayyah (41-132 H/661-750M)
Bergantinya
kepemimpinan di tangan Muawiyah bin Abo Sofyan setelah wafatnya Ali bin Abi
Thalib membawa dampak besar bagi pemerintahan Islam. Karena pada masa itu,
kepemimpinan diteruskan atas dasar garis keturunan dan dikenal sebagai
kepemimpunan Bani Umayyah.
Kekuasaan Bani Umayyah berpusat di
Damaskus. Masa kepimpinan berlangsung selama kurang lebih 90 tahun dan pada
tahun-tahun tersebut wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Syiria,
Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afghanistan,
Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia tengah.
Kebijakan ekonomi yang terlaksana tidak
jauh berbeda dari masa kepimpinan sebelumnya. Penyimpangan yang terjadi pada
masa Bani Umayyah adalah adanya disfungsi baitul mal. Dana baitul mal mulai
digunakan untuk kepentingan pemimpin dan keluarganya yang tidak berhubungan
dengan kesejahteraan masyarakat. Akibat penyimpangan ini, muncul konfrontasi
antara pemerintah dengan masyarakat. Kerusuhan tersebut terus berlanjut hingga
pihak oposisi mampu menggantikan kepemimpinan. Ini menjadikan tanda berakhirnya
daulah Muawiyyah dan digantikan oleh daulah Abbasiyah.
Para tokoh-tokoh yang terlahir di masa
daulah Umayyah ini adalah Ziad bin Ali, Imam Abu Hanifah, Abdurahman
Al-Awzai’i, Malik bin Anas dan Abu Yusuf.
3.2
Masa Kepemimpinan Daulah Abbasiyah (132-656H/750-1258M)
Daulah
Abbasiyah berkuasa setelah daulah Muaiyyah mampu digulingkan pada tahun 750 H.
Para pendiri Bani Abbasiyah adalah keturunan dari paman Rasulullah, al-Abbas.
Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah pada 132-136 H dan pusat
pemerintahan berpindah dari Damaskus ke Baghdad. Pada masa pemerintahan daulah
Abbasiyah periode pertama yang dipimpin Abdullah al-Saffah, al-Manshur,
al-Mahdi dan al-Ma’mun mampu membawa Baghdad pusat pemerintahan yang tegas
dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan menjadi pusat ilmu serta kebudayaan.
Tokoh-tokoh pemikir yang lahir dalam dinasti Abbasiyah antara lain Abu Ubaid
al-Qasim, Al-Mawardi, Abu Hamid al-Ghazali, Nasirudin at-Tusi, Ibnu Taimiyyah
dan Ibnu Khaldun.
Setelah berakhirnya periode pertama,
daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dan menjadi akhir dari periode kepimpinan
daulah Abbasiyah. Bangsa Mongol mengahncurkan daulah yang bertahan lebih dari
lima abad lamanya pada 1258 M.
3.3 Masa
Kepemimpinan Daulah Turki Utsmani
Kepemimpinan
Islam mengalami masa degredasi setelah runtuhnya daulah Abbasiyah. Kepemimpinan
Turki Utsmani muncul sebagai kekuatan Islam terbesar di dunia disamping
kerajaan Mughal (India) dan kerajaan Safawi (Persia). Putera dari Ertoghrul,
Utsmani dianggap sebagai pendiri daulah Turki Utsmani. Pada kepemimpinannya,
Utsmani dan penggantinya banyak melakukan perluasan wilayah Islam meliputi Asia
kecil, Armenia, Irak, Syiria, Hijaz, Yaman, Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair,
Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hungaria, dan Rumania. Daulah Turki
Utsmani mengalami masa keemasan ketika dipimpin Muhammad II atau Muhammad
al-Fatih (1451-1484M) dan Sulaiman al-Qanuni (1520-1566M).
Perekonomian berjalan sebagaimana masa
daulah Abbasiyah. Memfungsikan baitul mal sebagai sumber perbendaharaan negara.
Sistem sentralisasi(terpusat) yang dijalankan pemerintah mulai menimbulkan
permasalahan dikarenakan luasnya wilayah dan pemerintah pusat pusat terfokus
pada peperangan dengan bangsa Eropa. Permasalahan ekonomi timbul dikarena
pejabat yang memungut pajak tinggi melebihi batas, praktek pungutan liar dan
memanipulasi pungutan pajak.
Daulah Turki Utsmani mulai mengalami
kemunduran pada awal abad keenam belas. Dimulainya konfrontasi dengan bangsa
Eropa dan semakin meruncing ketika kalah perang. Selain itu, daulah Turki
Utsmani harus menghadapi penyelewangan dan pemberontakan di luar kekalahan
perang dengan bangsa Eropa. Pada tahun 1924 daulah Turki Utsmani berakhir.
4.
Pemikiran
Ekonomi Islam Kontemporer
Memasuki
abad ke-20 Masehi pemikiran ekonomi Islam mulai muncul dari para tokoh-tokoh
Muslim. Jika dalam pemikiran ekonomi Islam klasik terdapat tiga fase (Rasulullah,
khulafa al-Rasyidin dan daulah), maka
pemikirin ekonomi Islam kontemporer dibagi menjadi 3 tipe, yaitu aliran Iqtishādunā,
aliran Mainstream, dan
aliran Alternatif. Dengan dasar pemikiran yang berbeda-beda antara satu tipe
dengan yang lain.
4.1 Aliran
Iqtishaduna (Ekonomi Kita)
Aliran
Iqtishaduna terlahir dari pemikiran Muhammad
Baqir Al-Shadr (1935-1980 M) yang berasal dari Kazimain, Irak. Baqir Al-Shadr
telah menciptakan buku Falsafatuna
dan Iqtishaduna dari hal inilah ia
mulai dikenal sebagai teoritis kebangkitan Islam terkenal.
Aliran Iqtishaduna beranggapan jika masalah ekonomi muncul karena adanya
distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari sistem ekonomi
yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.
Akibatnya pihak yang kuat akan semakin kaya dan pihak lemah akan semakin
miskin. Karena itu, masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak
terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Aliran Iqtishaduna menolak pernyataan yang menyatakan bahwa masalah ekonomi
disebabkan oleh adanya keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber
daya alam yang tersedia jumlahnya terbatas. Karena hal tersebut bertentangan
dengan firman Allah: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukuran.” (Q.S. al-Qamar: 49).
Sementara Islam, menurut Al-Shadr
membatasi kebebasan individu dalam memiliki sumber-sumber produksi dan
memisahkan distribusi sumber-sumber dari bentuk produksi. Alasan di balik itu,
Islam melihat unsur manusia dalam keadilan. Islam mengobarkan jihad melawan
keterbalakangan dan kemunduran. Maka, bagi Al-Shadr, tidak ada “kerangka” yang
tepat untuk mencari berbagi “problem
keterbelakangan ekonomi” kecuali dengan sistem ekonomi Islam (Apridar: 2012).
4.2 Aliran
Mainstream
Aliran
ini merupakan kebalikan dari aliran Iqtishaduna dalam memandang permasalahan
ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul memang dikarenakan
kelangkaan (scarcity) sumber daya alam sementara keinginan manusia tidak
terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi
segala kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut
tidak dapat dilakukan semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tokoh-tokoh
aliran mainstream ini, diantaranya Muhammad Abdul Mannan, Muhammad Nejatullah
Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a.
Muhammad Abdul Mannan
Abdul
Mannan salah seorang pemikir ekonomi Islam kontemporer, ia salah seorang yang
mendapat gelar Master dan Doktornya di Universitas Michigan, Amerika Serikat.
Merupakan pengajar dan peneliti di universitas-universitas dunia termasuk di
Universitas King Abdul Aziz, Jeddah.
Karya-karyanya dalam ilmu ekonomi yaitu Islamic
Economics: Theory and Practice (1970) dan The Making of Islamic
Economic Society (1984). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang
diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada
masalah ”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan
dalam ekonomi Barat. Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif
penggunaan sumber daya dipengaruhi oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam.
b.
Muhammad Nejatullah Siddiqi
Baginya,
ekonomi Islam modern itu, memanfaatkan teknik produksi terbaik dan metode
organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia,
di samping pada sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem
tersebut. Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam dan sistem-sistem
ekonomi modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam suatu kerangka
Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai
tujuan spritual dan moral.
Karya-karyanya
dalam ilmu ekonomi yaitu The Economic Enterprise in Islam (1971)
dan Some Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia
mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “respon para pemikir muslim terhadap
tantangan ekonomi yang dihadapi pada zaman mereka masing-masing. Dalam usaha
ini, mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, baik sebagai dalil dan petunjuk
maupun sebagai eksprimen.”
c.
Syed Nawab Haidar Naqvi
Ada
3 tema besar dalam pemikiran Naqvi terhadap ekonomi Islam, yaitu :
1. Kegiatan
ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya manusia yang lebih luas untuk
mewujudkan masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika illahiyah, yakni
keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsan). Menurutnya, hal itu
berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam ekonomi
Islam, dan faktor etika inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem
ekonomi lainnya.
2. Melalui
prinsip Al-’Adl wa Al- Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias
yang melekat dalam kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah
secara ekonomis. Bias tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan,
yang ia terjemahkan sebagai egalitarianisme.
3. Diperlukannya
suatu peran utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan
sebagai regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier)
kebutuhan dasar, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan
distribusi, baik di pasar barang maupun faktor produksi, demikian pula negara
berperan sebagai pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai
perwujudan atau penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai
penyedia, penopang dan pendorong kegiatan ekonomi
Karya-karya Naqvi dalam
ilmu ekonomi, yaitu Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (1981).
Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku muslim sebagai perwakilan
dari ciri khas masyarakat muslim.”
d.
Monzer Kahf
Monzer
Kahf ialah salah pakar pemikir ekonomi Islam, ketua Economist Group Association
of Muslim Social Scientist, USA. Menempuh pendidikan di Syiria dan USA serta
mendapatkan gelar Ph.D ekonomi dengan spesialisasi ekonomi internatiol.
Karya-karya
dari Monzer Kahf dalam ilmu ekonomi, yaitu The Islamic Economy: Analytical
of The Functioning of The Islamic Economic System (1978).
Ia tidak mengusulkan suatu definisi “formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu
ekonomi berhubungan dengan perilaku manusia dalam hal produksi, distribusi dan
konsumsi, maka ekonomi Islam, menurutnya, dapat dilihat sebagai sebuah cabang
dari ilmu ekonomi yang dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni aksioma,
sistem nilai dan etika) Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan
ekonomi Sosialisme.
4.3 Aliran
Alternatif
Aliran
ini kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik sebagai ilmu maupun
sebagai peradaban. Aliran alternatif banyak mengkritik aliran Iqtishaduna dan aliran
Mainstream bahkan ekonomi Konvensional. Aliran Iqtishādunā dikritik
karena dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah
ditemukan tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik sebagai
jiplakan ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur
riba serta memasukkan variabel zakat dan akad.
Para tokoh-tokoh aliran ini yang
diketahui adalah Timur Kuran dalam artikelnya “The Economyc System in
Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International
Journal of Middle East Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The
Notion of Economic Justice in Contemporary Islamic Thought” dalam International
Journal of Middle East Studies Volume 21 tahun 1989. Sohrab Behdad
tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in Contemporary Islamic
Economic Thought: A Critical Perspective” dalam jurnal Review of
Social Economy Volume 47 tahun 1989. Dan Abdullah Saeed dengan tulisan
artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic Banking in Practice: A Critical Look at
The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of Arabic, Islamic
& Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral Context of
The Prohibition of Riba in Islam Revisited” dalam American Journal
of Islamic Social Sciencetahun 1995.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Boedi. Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam.
Bandung: Pustaka Setia. 2010.
Amalia,
Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Depok: Gramata Publishing. 2010.
Apridar.
Teori Ekonomi: Sejarah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.2012
Hak, Nurul. Ekonomi Islam: Hukum Bisnis Syariah
(Mengupas Ekonomi Islam, Bank Islam, Bunga Uang dan Bagi Hasil, Wakaf Uang dan
Sengketa Ekonomi Syariah). Yogyakarta:
Teras. 2011.
Karim,
Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. Edisi Ketiga. Jakarta: Rajawali Press. 2006.
Mannan, Muhammad Abdul.
Islamic Economics, Teory and Practice. Terjemahan
Drs. Nastangin dengan judul Teori dan Praktik Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT
Dana Bhakti Wakaf. 2007.
Noor, Deliar. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Edisi
Ketiga. Jakarta: Raja Grafndo Persada. 2012.
Shiddiqi, Nouruzzaman. Tamadun Muslim. Jakarta: Bulan Bintang. 1986.
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonosia.
(2002).
Diakses pada tanggal 9
September 2017
Diakses pada tanggal 9
September 2017
Diakses pada tanggal 9
September 2017
No comments:
Post a Comment