HUKUM ISLAM TENTANG RIBA
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesehatan sehingga para penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “HUKUM ISLAM TENTANG RIBA” ". Tak lupa kami
mengahanturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk
keselamatan umat manusia di dunia.
Makalah ini
merupakan salah satu tugas mata kuliah" Ekonomi Islam ",
tidak lupa para penyusun ucapkan terima kasih pada seluruh pihak yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan
dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Pekalongan, Oktober 2017
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Riba
merupakan pendapatan yang diperoleh secara tidak adil. Riba sebelumnya telah
berkembang sejak jaman jahiliyah dan terus berlangsung hingga sekarang. Banyak
sekali permasalahan-permasalahan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat misalnya, sering ditemui kegiatan pinjam meinjam
uang untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktik pinjam meminjam inilah sering
ditemui orang menungut biaya atas jasanya meminjamkan uang kepada orang lain.
Inilah cikal bakal terjadinya riba.
Sejak
datangnya Islam di era Rasulullah S.A.W, Islam telah melarang adanya praktik
riba. Allah melarang riba secara bertahap untuk menghilangkan kebiasaan riba
yang telah mendarah daging di masyarakat. Allah S.W.T. melaknat nhamba-hambanya
yang melakukan riba. Riba menyebabkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terwujud
secara menyeluruh.
2.
Rumusan
Masalah
1)
Bagaimanakah
sejarah riba?
2)
Apa
saja dalil-dalil yang menjelaskan fase pelarangan riba dalam Islam?
3)
Apa
saja bentuk-bentuk riba?
4)
Bagiamanakah
hakikat pelarangan riba?
5)
Bagaimana
perbedaan bunga dan riba dalam Islam?
6)
Bagaimana
pandangan agama selain Islam mengenai riba?
3.
Maksud
dan Tujuan
1)
Memahami
sejarah mengenai riba.
2)
Mengetahui
dalil-dalil yang menjelaskan fase-fase pelarangan riba dalam Islam.
3)
Mengetahui
dan memahami macam-macam bentuk riba.
4)
Memahami
hakikat pelarangan riba.
5)
Memahami
perbedaan bunga dan riba dalam Islam.
6)
Mengetahui
pandangan agama selain Islam mengenai riba.
BAB II PEMBAHASAN
1.
Sejarah
Munculnya Riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam
pengertian lain, secara linguistic, riba juga berarti tumbuh dan membesar.[1]
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil.[2]
Secara umu, riba adalah pengambiulan tambahan, baik dari transaksi jual beli
maupun utang-piutang. Allah S.W.T. telah mengingatkan dalam firmannya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil…”(Q.S. An-Nisa: 29)
Makna sesungguhnya dari riba telah menjadi perdebatan
sejak zaman kaum muslimin paling awal. Khalifah umar menyesalkan Nabi Muhammad
S.A.W wafat sebelum sempat memberikan penjelasan yang terperinci mengenai
pengertian riba. Di kalangan orang barat, istilah usury pada umumnya sekarang
dipakai untuk menyebut bunga yang terlalu tinggi atau berlebih-lebihan.
Riba merupakan penyakit masyarakat yang mungkin telah
dikenal manusia sejak manusia pertama kali mengenal uang (emas dan perak). Riba
telah dikenal sejak masa peradaban Farao di Mesir, peradaban Sumeria, Bilonia
dan Asyuria di Irak serta Ibrani Yahudi.
Di Mesir, pada era Firaun dimana hutang yang tidak
dapt terbayar, penghutang akan menjadi hamba. Orag Yahudi juga berperan dalam
sejarah bermulanya riba. Orang Yahudi beranggapan bahwa pengaharaman riba hanya
antara orang-orang Yahudi saja, dan tidak haram terhadap umat-umat yang lain.
Pada Jaman Jahiliyah juga terjadi berbagai praktik
ribawi. Pada jaman ini riba terjadi ketika peminjam bersedia mengembalikan
jumlah pinjman pada waktu yang ditentukan berikut dengan tambahan. Pada sat jatuh
tempo, si pemberi pinjaman (kreditor), meminta jumlah pinjaman yang dulu
diberikan pada peminjam (debitor). Jika debitor menyatakan belum sanggup
membayar, kreditor memberikan tenggang waktu, dengan syarat, debitor bersedia
membayar sejumlah tambahan atas pinjaman pokok tadi. Menurut Al-Razi, dalam
prakteknya, tambahan yang diminta sering kali berlipat ganda dan jumlahnya
sangat besar sehingga amat memberatkan bagi peminjam.[3]
Di Madinnah, menurut Watt ada hubungan antara orang
yahudi dengan riba. Sesudah periode perang badar, ada kewajiban timbale balik
antara Islam dengan Yahudi sebagai penduduk Madinah. Namun ketika dimintai
bantuan, Yahudi hanya bersedia memberikan pinjaman uang riba. Orang Yahudi
memberikan pinjaman kepada kaum Anshar dalam jangka waktu 1 tahun dengan bunga
50%. Riba yang dipraktekan ini menjadikan kaum yang lemah menjadi semakin
lemah. Karena debitor tidak mampu mengembalikan uangnya dalam jangka waktu yang
ditentukan, maka hutangnya semakin bertambah hingga menghabiskan harta debitor
dari hutang yang semula kecil.
Obyek riba tidak hanya berupa uang, tetapi juga hewan
ternak. Al-Tabari menuturkan riwayat dari Ibn Zaid menirukan ayahnya, bahwa
riba pada masa Jahiliyyah adalah dalam lipat ganda dan umur hewan ternak,
seperti onta. Bila tiba masa yang telah disepakati, kreditor menagih pada
debitor, bila debitor punya maka ia akan membayar hutang itu, tetapi bila ia
tidak punya onta maka ia dianggap mempunyai hutang onta lebih tua daripada yang
dipinjamkannya dulu. Hutang debitor akan bertambah terus selagi ia belum bisa
melunasi hutangnya.[4]
Dari berbagai contoh diatas, menggambarkan bahwa riba
berkaitan dengan ketidaksanggupan peminjam mengembalikan hutangnya pada waktu
yang telah disepakati, kemudian muncul kesepakatan berikutnya yang berupa
penundaan pembayaran hutang dengan catatan peminjam memberikan tambahan atas
pinjaman ketika pelunasan.
Pada masa Nabi, para sahabat mengerti mengenai riba
hanya sekilas karena nabi belum sempat menjelaskan pengertian riba secara
definitif. Di dalam Islam, riba dalam bentuk apapun dilarang oleh Allah S.W.T.
Fenomena praktik riba merupakan senjata efektif untuk mengembangkan kemiskinan
dan penindasan terhadap orang lemah. Riba merupakan perjanjian yang berat
sebelah, secara psikologi memaksa satu pihak untuk menerima perjanjian yang
sebenarnya tidak didasari kerelaan.[5]
2.
Dalil
yang Menjelaskan Fase Pelarangan Riba dalam Islam
Larangan riba sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an
telah didahului oleh bentuk-bentuk larangan lainnya yang secara moral tidak
dapat ditoleransi. Larangan itu tercermin dalam perilaku social ekonomi
masyarakat.[6]
Dalam Al-Qur’an sendiri, larangan riba diturunkan
dalam 4 tahap.
Tahap
pertama, menolak
anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahir-nya seolah-olah menolong mereka
yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah
S.W.T.
“Dan,
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”(Q.S.
Ar-Ruum: 39)
Tahap
kedua, riba
digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah S.W.T. mengancam akan member
balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
“Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, disebabkan mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karewna mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”(Q.S.
An-Nisaa: 160-161)
Tahap
ketiga, riba
diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para
ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dangan tingkat yang cukup
tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Allah
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”(Q.S.
Ali Imran:130)
Tahap
keempat, Allah S.W.T.
dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun yang diambil dari pinjaman. Ini
adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan menerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”(Q.S.
Al-Baqarah: 278-279)
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an,
tetapi juga terdapat pada al-hadist. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9
Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah S.A.W. masih menekankan sikap Islam
yang melarang riba.
“Ingatlah
bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah
telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang kita akibat riba
harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan
menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu, masih banyak hadist yang membahas mengenai
riba, diantaranya:
1)
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli
seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotore dari
kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku
bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa
Rasulullah SAW. melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan
kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta
ditato, menerima dan member riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.”(HR Bukhari no. 2084 kitab Al-Buyu)
2)
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa pada suatu
ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan
Rasulullah dan beliau bertanya kepadanya, "Dari mana engkau
mendapatkannya?" Bilal menjawab, "Saya mempunyai sejumlah kurma dari
jenis yang rendah mutunya dan menukar-kannya dua sha’ untuk satu sha’ kurma
jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah ", selepas itu Rasulullah terus berkata, "Hati-hati! Hati-hati!
Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi
jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya
rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk
membeli kurma yang bermutu tinggi itu." (H.R. Bukhari no. 2145, kitab Al Wakalah)
3)
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa
ayahnya berkata, “Rasulullah melarang penjualan emas dengan emas dan perak
dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan
perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita." (H.R. Bukhari no. 2034, kitab Al Buyu)
4)
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah
bersabda, "Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau
meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan
pemberi sama-sama bersalah." (H.R.
Muslim no. 2971, dalam kitab Al Masaqqah)
5)
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah e
bersabda, "Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku
ke Tanah Suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana
di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri
seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah
sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi
melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku
bertanya, ‘Siapakah itu?’ Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai
itu ialah orang yang memakan riba.’ ” (H.R.
Bukhari no. 6525, kitab At Ta`bir)
6)
Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang
menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua
orang saksinya, kemudian beliau bersabda, "Mereka itu semuanya sama."
(H.R. Muslim no. 2995, kitab Al
Masaqqah)
7)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah
berkata, "Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut
mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari
luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa
mereka adalah orang-orang yang memakan riba."
8)
Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi SAW
bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah
(dosanya) sama dengan seseorang yang me-lakukan zina dengan ibunya.”
9)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda, "Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat
golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu
adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang
tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya."
3.
Bentuk-bentuk
Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua.
Masing-masing-masing adalah riba utang piutang (riba al-qarud) dan riba jual
beli (riba al-buyu). Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba
jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli terbagi lagi menjadi riba
fadhl dan riba nasi’ah.
1)
Riba
Qardh
Meminjamkan
sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami.
2)
Riba
Jahiliyyah
Hutang
dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan.
3)
Riba
Fadhl
Pertukaran
antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4)
Riba
Nasi’ah
Penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis
barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan,
perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan
kemudian.
Menurut pembahasan para ahli fiqih Islami, yang
termasuk dalam barang ribawi meliputi:
1)
Emas
dan perak, baik dalam bentuk uang maupun bentuk lainnya.
2)
Bahan
makanan pokok, seperti beras, gandum dan jagung serta bahan makanan tambahan
seperti sayur dan buah-buahan.
4.
Hakikat
Pelarangan Riba
Hakikat pelarangan riba dalam Islam adalah suatu
penolakan atas risiko yang dibebankan pada salah satu pihak saja, sedangkan
pihak lainnya terjamin keuntungannya. Larangan mengenai riba dalam Al-Qur’an
sangat jelas dan dikuatkan dengan firman Allah:
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(Q.S.
Al-Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat diatas, jelas bahwa Allah melarang
bahkan mengharmkan riba. Riba sendiri disebabkan oleh beberapa faktor:
1)
Nafsu
dunia kepada harta benda
2)
Serakah
harta
3)
Tidak
merasa bersyukur dengan apa yang telah diberikan Allah S.W.T.
4)
Lemahnya
iman
5)
Selalu
ingin menambah harta dengan berbagai cara termasuk riba.
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya pelarangan riba dalam Islam tidak hanya
merujuk pada Al-Qur’an, tetapi juga terdapat pada al-hadist. Dalam amanat
terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah S.A.W. masih
menekankan sikap Islam yang melarang riba.
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia
pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh
karena itu, utang kita akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu
adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
5.
Bunga
vs Riba dalam Islam
Para
sarjana muslim modern berbeda pandangan tentang apakah larangan riba
sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an teraplikasikan dalam bunga bank
modern. Perbedaan
ini tampaknya terfokus pada salah satu dari permasalahan sentral sebagai
berikut, yaitu: pertama, larangan riba dipahami dengan menekankan pada aspek
rasional, melalui pemahaaman ini, unsur ketidak adilan menjadi isu sentral atas
pelarangannya. Kedua larangan riba dipahami berdasarkan legal formal
sebagaimana yang dikonseptualisasikan dalam hukum islam (fiqh).
A. Pandangan
pra modernis tentang riba dan bunga
Para
modernis seperti Fazlur Rahman (1964), Muhammad Asad(1984), Said al-Najjar
(1989), dan Abd al-Mun’im al-Namir (1989) menekankan perhatiannya pada aspek
moral sebagai bentuk pelarangan riba dan mengesampingkan aspek legal formal
dari larangan riba sebagaimana yang dijelaskan dalam hokum islam. Argumentasi
mereka adalah sebab dilarangnya riba karena menimbulkan ketidakadilan
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an. Para modernis juga mendasari pendapat
mereka dengan pandangan para ulama klasik, sebab larangan riba bahwa pemberi
pinjaman (lender) akan semakin kaya sedangkan peminjam dana akan semakin
miskin.
Berdasarkan
penjelasan diatas tampaknya pelarangan riba karena lebih mengandung unsure
eksploitasi terhadap kaum fakir miskin, daripada factor bunganya. Eksploitasi
ini dilakukan melalui bentuk pinjaman yang berusaha mengambil keuntungan dari
nilai pinjaman yang mengakibatkan kesengsaraan kelompok lain. Para modernis
dalam menanggapi berbagai macam bentuk bunga yang dipraktekkan dalam system
bank konvensional berusaha membedakan pandangannya antara membolehkan bunga
bank secara sah menurut ketentuan hokum menolakknya. Penoalakan terhadap bunga
bank umumnya berdasarkan pada pemahaman dan adanya unsure ketidakadilan.
Beberapa argument pandanagan moderenis
Sekalipun
ayat-ayat dan hadis riba sudah jelas dan sharih, masih saja ada beberapa
cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga
uang. Diantaranya karena alasan berikut:
1)
Dalam
keadaan darurat.
Imam Suyuti dalm bukunya
menegaskan bahwa darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang
tidaksegera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat akan membawanya kejurang
kehancuran atau kematian.
“… barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakanya), sedang dia (1) tidak
menginginkanya, dan (2) tidak melampaui batas maka tidak ada dosa baginya.
Sesunggunhya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(al Baqarah: 173)
Pembatasan yang pasti dalam
pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh,
terutama penerapan al-quwaid al-fiqhiyah seputar kadar darurat.
Sesuai dengan ayat diatas
para ulama merumuskan kaidah,
“darurat itu harus dibatasi sesuai kadarny” artinya darurat itu maa berlakunya serta ada batasan
ukuran dan kadarnya.
2)
Hanya
bunga yang berlipat ganda saja ybang dilarang sedangkan suku bunga yang “wajar”
dan tidak menzalimi diperkenankan.
ada pendapat bahwa bunga
hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan
bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman
yang keliru atas surat Ali Imran ayat 130 yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Sllah SWT supaya kalian
mendapatkan kenberuntungan.”
Sepintas surat Ali Imran
ayat 130 ini memang hana melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi
memahami kembali ayat tersebut secara cermat. Termasuk mengkaitkanya dengan
ayat-ayat rina yang lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap
fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa
riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.
3)
Badan
hukum dan hukum taklif
Ada sebagian ulama yang
berpendapat bahwa ketika ayat riba diturunkan dan disampaikan di Jazirah
Arabian belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah
individu-individu. Bank sebagai lembaga tidak termasuk dalam kategori mukallaf.
Dengan demilkian tidak tekena khitab ayat-ayat dan hadist riba. Pendapat ini
jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.
B. Pandangan
neo-revivalis tentang riba dan bunga
Pandangan ini menekankan bentuk legal
dari riba sebagaimana diungkapakan dalam hukum islam, dan menegaskan bahwa
pernyataan yang diterapkan dalam al-Quran harus diambil makna harfiahya, tanpa
memperhatikan apa yang dipraktikkan didalam periode pra-islam. Menurut
pandangan ini karena al-Qur’an telah menyatakan bahwa hanya uang pokok yang
diambil, maka tidak ada pilihan kecuali menafsirkan riba sesuai dengan
pernyataan itu. Oleh karena itu, keberadaan ketidakadilan atau sebaliknya
didalam sebuah transaksi pinjaman tidak relevan. Apapun keadaanya, pemberi
pinjaman tidak mempunyai hak untuk menerima tambahan atas dan melebihi uang
pokok. Bagaimanapun
penafsiran neo-Revivalis tentang riba, ini adalah penafsiran yang menjadi dasar
dari teori dan praktik perbankan islam sekarang ini.
6.
Riba
dalam Konteks Agama Selain Islam
Riba
tidak hanya dilarang dalam Agama Islam saja, dalam sejarah Yunani dan Romawi
sekitar abad VI sebelum masehi hingga I masehi telah terdapat jenis bunga.
Besarnya bunga tersebut bervariasi bergantung pada kegunaannya. Pada masa
Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi terdapat undang-undang
yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut
sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate).
Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun
undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak
dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).
Dua
filsafat Yunani yang terkenal antara lain Plato (427 – 347 SM) dan Aristoteles
(384 – 322 SM) mengecam praktik bunga begitu pula Cicero (106 – 43 SM). Para
ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktikan
pengambilan bunga. Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama
bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua
bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Sedangkan
dalam pandangan Kristen tentang Bunga dalam abad pertengahan, pengambilan apa
yang sekarang kita sebut bunga adalah usury (bunga yang berlebihan) dan usury
adalah dosa, dikutuk dengan kata-kata yang sangat keras. Hukum Gereja pada abad
pertengahan, melarang pembayaran atas penggunaan suatu pinjaman, yang menurut
hukum Romawi disebut Usura. Tetapi meskipun seseorang dilarang memungut uang
sebagai pembayaran atas suatu pinjaman, ida dapat meminta kompensasi “damna et
interesse” jika ia tidak dibayar lunas pada waktunya. Interesse merupakan
kompensasi yang diberikan oleh seorang debitur (penmberi utang).
Adapun kutipan
ayat-ayat larangan riba dalam kitab agama Yahudi baik dalam Perjanjian Lama
(Old Testament):
-
Kitab Exodus (Keluaran) Pasal 22 : 25
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah satu umat Ku, orang yang miskin
diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia,
janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.
-
Kitab Deuteronomy (Ulangan) Pasal 23 :
19 “ Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun makanan,
atau apa pun yang dapat dibungakan”
-
Kitab Levictus (Imamat) pasal 25ayat 35
:37 “Apabila saudaramu jatuh miskin sehingga tidak sanggup bertahan diantaramu,
maka engkau harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang supaya ia
dapat hidup diantaramu. (35) Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba
dari padanya, melainkan engkau harus takut kepada Allah mu supaya saudaramu
dapat hidup diantaramu. (36) Janganlah engkau memberi atau meminjamkan uang
kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah engkau berikan dengan
meminta riba”.
Dalam agama Kristen
adapun kutipan ayat-ayat larangan riba :
-
Lukas 6 : 34- 35 “Dan jikalau kamu
meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu
daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang
berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.(36) “ Tetapi kamu,
kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak
Allah Yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
1.
pemberian pinjaman uang dilakukan atas
barang-barang yang dititipkan (gadai atau jaminan) oleh si pemberi pinjaman.
Pengharaman Riba juga diperluas pada jenis-jenis kolateral yang dapat
digunakan.
St.
Thomas juga mengutuk riba karena ia membawa kepada ketidak setaraan yang
berlawanan dengan keadilan. Peringatan Injil atas Riba disertai oleh penyebutan
kaum lemah, para janda, dan yatim piatu, dan mereka yang berada dalam
kemiskinan, yaiitu kaum yang kepada siapa kita dianjurkan untuk memberi
pinjaman gratis, tanpa Atas dasar ayat tersebut gereja dengan tegas
mengharamkan riba secara total. Riba merupakan bentuk kemaksiatan dan perbuatan
jahat, sehingga orang yang tidak melarang riba dianggap orang Murtad. Dalam
agama Kristen, pelarangan yang keras atas riba berlaku selama lebih dari 1.400
tahun.
Mengapa Kaum Kristen
membenci Riba :
2.
Riba bertentangan dengan ajaran Yesus.
Meskipun pasal-pasal dalam kitab Injil dapat ditafsirkan secara berbeda-beda
namun tiadanya penghukuman secara khusus tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa
berdasarkan peristiwa pengusiran para rentenir oleh Yesus dan prinsip perbuatan
berbicara lebih keras daripada kata-kata, maka peminjaman uang dengan menarik
bunga dianggap sebagai bentuk perolehan keuntungan yang sangat buruk.
3.
Hukum Yahudi secara terang-terangan
mengharamkan riba. Satu-satunya, persoalan adalah kepada siapa dan seberapa
luas larangan itu berlaku, namun dari masa-masa yang paling awal sekali umat
Kristen paling tidak pasti sudah memiliki beberapa ilusi mengenai hal itu St.
Jerome (340 – 420) dan St. Ambrose (340-97) menyatakan bahwa kata
saudara-saudara dalam Ulangan telah di universalkan oleh para Nabi dan Kitab
Perjanjian Baru ( Kasihilah musuh-musuhmu) konsekuensi nya , tidak ada
pembenaran dari Kitab Suci untuk memungut riba dari siapapun.
4.
Kitab Injil juga dengan keras melarang
aktivitas yang berhubungan dengan pinjaman. Banyak mengharapkan imbalan apapun
dari pinjaman itu.
BAB III PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Berdasarkan
fakta sejarah, riba telah ada sejak zaman dahulu kala. Bahkan bisa jadi riba
elah ada semenjak manusia mulai mengenal uang (emas dan perak). Praktik riba
telah mendarah daging pada perilaku manusia, sehingga sulit untuk melepaskan
diri dari hal-hal yang mengarah pada riba.
Allah
S.W.T. sangat melarang praktik riba, seperti firmannya dalam Al-Qur’an dan yang
dicontohkan Rasulullah melalui hadist. Banyak ulama juga yang melarang riba
melaui fatwanya karena riba sangat merugikan kaum-kaum yang lemah dan hanya menguntungkan
kaum yang kuat. Selain Islam, riba juga dilarang menurut pandangan agama lain,
sehingga tak alasan bagi kita untuk mendekati riba.
Larangan
Allah S.W.T. melarang riba dalam empat fase, seperti yang dijelaskan pada: Q.S.
Ar-Ruum ayat 30 untuk fase pertama, Q.S. An-Nisaa ayat 160-161 untuk fase
keuda, Q.S. Ali Imran ayat 130 untuk fase ketiga danQ.S. Al-Baqarah ayat
278-279 untuk fase terakhir. Riba sendiri terbagi dalam beberapa bentuk, yaitu:
Riba Qardh, riba Jahiliyyah , riba Fadhl; dan riba Nasi’ah
Meskipun
masih terdapat beberapa perseberangan pandangan mengenai riba, tapi maknanya
mengerucut pada satu hal. Riba dengan tujuan untuk melipat gandakan harta
dengan memakan hak orang lain merupakan hal yang jelas dilarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Saeed,
Abdulllah. 2008. Bank Islam dan Bunga:
Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga. Edisi
Ketiga. Diterjemahkan oleh: Muhammad Ufuqul Mubin dkk. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Antonio,
Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah:
Dari Teori ke Praktik.Jakarta: Gema Insani
Lewis,
M. K. dan Latifa Algaoud. 2003. Perbankan Syariah: Prinsip, Prospek.
Diterjemahkan oleh: Burhan Wirasubrata. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Fauzan, Muhammad. 2014. Sejarah Riba (online). Tersedia: http://ozan993.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-riba.html
[02 Oktober 2017]
Umbara, Riza. 2015. Sejarah Hukum Islam, Riba dalam
Ekonomi di Masa Rasul. (online) Tersedia: http://rizaumbara.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-hukum-islam-riba-dalam-ekonomi.html [02 Oktober 2017]
[1]Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang
Riba dan Bunga. Diterjemahkan oleh: Muhammad Ufuqul Mubin dkk. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008)
[2]Muhammad Syafii Antonio, Bank
Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001)
[3]Al-Rzi dalam tafsirnya, Tafsir
Al-Kabir, selanjutnya disebut al-kabir, (Tuhran: Dir al-Kutub al-‘ilmiyyah,
cet. II, tt.).
[4]Al-Tabari, jami’ al-bayan fi Tafsir
al-Qur’an. Selanjutnya disebut al-Bayan. (Mesir; ‘Isa al-Bab al-Halabi, 1954),
J.IV, hlm.59.
[5]Umbara, Riza, “Sejarah Hukum Islam,
Riba dalam Ekonomi di Masa Rasul”diakses dari:
http://rizaumbara.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-hukum-islam-riba-dalam-ekonomi.html,
pada tanggal 2 Oktober 2017 pukul 12.00
[6]Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang
Riba dan Bunga. Diterjemahkan oleh: Muhammad Ufuqul Mubin dkk. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008