Sunday, December 30, 2018

HUKUM ISLAM TENTANG RIBA



HUKUM ISLAM TENTANG RIBA

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesehatan sehingga para penyusun dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul HUKUM ISLAM TENTANG RIBA ". Tak lupa kami mengahanturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk keselamatan umat manusia di dunia.
Makalah  ini merupakan salah satu tugas mata kuliah" Ekonomi Islam ", tidak lupa para penyusun ucapkan terima kasih pada seluruh pihak yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


Pekalongan, Oktober 2017


Penyusun



BAB I PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Riba merupakan pendapatan yang diperoleh secara tidak adil. Riba sebelumnya telah berkembang sejak jaman jahiliyah dan terus berlangsung hingga sekarang. Banyak sekali permasalahan-permasalahan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat misalnya, sering ditemui kegiatan pinjam meinjam uang untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktik pinjam meminjam inilah sering ditemui orang menungut biaya atas jasanya meminjamkan uang kepada orang lain. Inilah cikal bakal terjadinya riba.
Sejak datangnya Islam di era Rasulullah S.A.W, Islam telah melarang adanya praktik riba. Allah melarang riba secara bertahap untuk menghilangkan kebiasaan riba yang telah mendarah daging di masyarakat. Allah S.W.T. melaknat nhamba-hambanya yang melakukan riba. Riba menyebabkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terwujud secara menyeluruh.

2.      Rumusan Masalah
1)      Bagaimanakah sejarah riba?
2)      Apa saja dalil-dalil yang menjelaskan fase pelarangan riba dalam Islam?
3)      Apa saja bentuk-bentuk riba?
4)      Bagiamanakah hakikat pelarangan riba?
5)      Bagaimana perbedaan bunga dan riba dalam Islam?
6)      Bagaimana pandangan agama selain Islam mengenai riba?

3.      Maksud dan Tujuan
1)      Memahami sejarah mengenai riba.
2)      Mengetahui dalil-dalil yang menjelaskan fase-fase pelarangan riba dalam Islam.
3)      Mengetahui dan memahami macam-macam bentuk riba.
4)      Memahami hakikat pelarangan riba.
5)      Memahami perbedaan bunga dan riba dalam Islam.
6)      Mengetahui pandangan agama selain Islam mengenai riba.


BAB II PEMBAHASAN

1.      Sejarah Munculnya Riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga berarti tumbuh dan membesar.[1] Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.[2] Secara umu, riba adalah pengambiulan tambahan, baik dari transaksi jual beli maupun utang-piutang. Allah S.W.T. telah mengingatkan dalam firmannya:
Description: C:\Users\onestop\Downloads\Screenshot-2017-10-2 Surah An-Nisa [4 29-39](1).png
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil…”(Q.S. An-Nisa: 29)

Makna sesungguhnya dari riba telah menjadi perdebatan sejak zaman kaum muslimin paling awal. Khalifah umar menyesalkan Nabi Muhammad S.A.W wafat sebelum sempat memberikan penjelasan yang terperinci mengenai pengertian riba. Di kalangan orang barat, istilah usury pada umumnya sekarang dipakai untuk menyebut bunga yang terlalu tinggi atau berlebih-lebihan.
Riba merupakan penyakit masyarakat yang mungkin telah dikenal manusia sejak manusia pertama kali mengenal uang (emas dan perak). Riba telah dikenal sejak masa peradaban Farao di Mesir, peradaban Sumeria, Bilonia dan Asyuria di Irak serta Ibrani Yahudi.
Di Mesir, pada era Firaun dimana hutang yang tidak dapt terbayar, penghutang akan menjadi hamba. Orag Yahudi juga berperan dalam sejarah bermulanya riba. Orang Yahudi beranggapan bahwa pengaharaman riba hanya antara orang-orang Yahudi saja, dan tidak haram terhadap umat-umat yang lain.
Pada Jaman Jahiliyah juga terjadi berbagai praktik ribawi. Pada jaman ini riba terjadi ketika peminjam bersedia mengembalikan jumlah pinjman pada waktu yang ditentukan berikut dengan tambahan. Pada sat jatuh tempo, si pemberi pinjaman (kreditor), meminta jumlah pinjaman yang dulu diberikan pada peminjam (debitor). Jika debitor menyatakan belum sanggup membayar, kreditor memberikan tenggang waktu, dengan syarat, debitor bersedia membayar sejumlah tambahan atas pinjaman pokok tadi. Menurut Al-Razi, dalam prakteknya, tambahan yang diminta sering kali berlipat ganda dan jumlahnya sangat besar sehingga amat memberatkan bagi peminjam.[3]
Di Madinnah, menurut Watt ada hubungan antara orang yahudi dengan riba. Sesudah periode perang badar, ada kewajiban timbale balik antara Islam dengan Yahudi sebagai penduduk Madinah. Namun ketika dimintai bantuan, Yahudi hanya bersedia memberikan pinjaman uang riba. Orang Yahudi memberikan pinjaman kepada kaum Anshar dalam jangka waktu 1 tahun dengan bunga 50%. Riba yang dipraktekan ini menjadikan kaum yang lemah menjadi semakin lemah. Karena debitor tidak mampu mengembalikan uangnya dalam jangka waktu yang ditentukan, maka hutangnya semakin bertambah hingga menghabiskan harta debitor dari hutang yang semula kecil.
Obyek riba tidak hanya berupa uang, tetapi juga hewan ternak. Al-Tabari menuturkan riwayat dari Ibn Zaid menirukan ayahnya, bahwa riba pada masa Jahiliyyah adalah dalam lipat ganda dan umur hewan ternak, seperti onta. Bila tiba masa yang telah disepakati, kreditor menagih pada debitor, bila debitor punya maka ia akan membayar hutang itu, tetapi bila ia tidak punya onta maka ia dianggap mempunyai hutang onta lebih tua daripada yang dipinjamkannya dulu. Hutang debitor akan bertambah terus selagi ia belum bisa melunasi hutangnya.[4]
Dari berbagai contoh diatas, menggambarkan bahwa riba berkaitan dengan ketidaksanggupan peminjam mengembalikan hutangnya pada waktu yang telah disepakati, kemudian muncul kesepakatan berikutnya yang berupa penundaan pembayaran hutang dengan catatan peminjam memberikan tambahan atas pinjaman ketika pelunasan.
Pada masa Nabi, para sahabat mengerti mengenai riba hanya sekilas karena nabi belum sempat menjelaskan pengertian riba secara definitif. Di dalam Islam, riba dalam bentuk apapun dilarang oleh Allah S.W.T. Fenomena praktik riba merupakan senjata efektif untuk mengembangkan kemiskinan dan penindasan terhadap orang lemah. Riba merupakan perjanjian yang berat sebelah, secara psikologi memaksa satu pihak untuk menerima perjanjian yang sebenarnya tidak didasari kerelaan.[5]

2.      Dalil yang Menjelaskan Fase Pelarangan Riba dalam Islam
Larangan riba sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an telah didahului oleh bentuk-bentuk larangan lainnya yang secara moral tidak dapat ditoleransi. Larangan itu tercermin dalam perilaku social ekonomi masyarakat.[6]
Dalam Al-Qur’an sendiri, larangan riba diturunkan dalam 4 tahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahir-nya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah S.W.T.
Description: C:\Users\onestop\Downloads\Screenshot-2017-10-2 Surah Ar-Rum [30 39-49].png
“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”(Q.S. Ar-Ruum: 39)

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah S.W.T. mengancam akan member balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Description: C:\Users\onestop\Downloads\Screenshot-2017-10-2 Surah An-Nisa [4 160-170].pngDescription: C:\Users\onestop\Downloads\Screenshot-2017-10-2 Surah An-Nisa [4 160-170](1).png
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karewna mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”(Q.S. An-Nisaa: 160-161)

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dangan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Allah berfirman:
Description: C:\Users\onestop\Downloads\Screenshot-2017-10-2 Surah Ali 'Imran [3 130].png
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”(Q.S. Ali Imran:130)

Tahap keempat, Allah S.W.T. dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
Description: C:\Users\onestop\Downloads\Screenshot-2017-10-2 Surah Al-Baqarah [2 278-279].png
Description: C:\Users\onestop\Downloads\Screenshot-2017-10-2 Surah Al-Baqarah [2 278-279](1).png
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”(Q.S. Al-Baqarah: 278-279)
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, tetapi juga terdapat pada al-hadist. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah S.A.W. masih menekankan sikap Islam yang melarang riba.
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang kita akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu, masih banyak hadist yang membahas mengenai riba, diantaranya:
1)      Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotore dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasulullah SAW. melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta ditato, menerima dan member riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.”(HR Bukhari no. 2084 kitab Al-Buyu)
2)      Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah dan beliau bertanya kepadanya, "Dari mana engkau mendapatkannya?" Bilal menjawab, "Saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukar-kannya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah ", selepas itu Rasulullah  terus berkata, "Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu." (H.R. Bukhari no. 2145, kitab Al Wakalah)
3)      Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita." (H.R. Bukhari no. 2034, kitab Al Buyu)
4)      Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah bersabda, "Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah." (H.R. Muslim no. 2971, dalam kitab Al Masaqqah)
5)      Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah e bersabda, "Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah Suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu?’ Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.’ ” (H.R. Bukhari no. 6525, kitab At Ta`bir)
6)      Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, "Mereka itu semuanya sama." (H.R. Muslim no. 2995, kitab Al Masaqqah)
7)      Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah berkata, "Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba."
8)      Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi SAW bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang me-lakukan zina dengan ibunya.”
9)      Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya."

3.      Bentuk-bentuk Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing-masing adalah riba utang piutang (riba al-qarud) dan riba jual beli (riba al-buyu). Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1)      Riba Qardh
Meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami.
2)      Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3)      Riba Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4)      Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Menurut pembahasan para ahli fiqih Islami, yang termasuk dalam barang ribawi meliputi:
1)      Emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun bentuk lainnya.
2)      Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur dan buah-buahan.

4.      Hakikat Pelarangan Riba
Hakikat pelarangan riba dalam Islam adalah suatu penolakan atas risiko yang dibebankan pada salah satu pihak saja, sedangkan pihak lainnya terjamin keuntungannya. Larangan mengenai riba dalam Al-Qur’an sangat jelas dan dikuatkan dengan firman Allah:
Description: C:\Users\onestop\Downloads\Screenshot-2017-10-2 Surah Al-Baqarah [2 275-285].png
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(Q.S. Al-Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat diatas, jelas bahwa Allah melarang bahkan mengharmkan riba. Riba sendiri disebabkan oleh beberapa faktor:
1)      Nafsu dunia kepada harta benda
2)      Serakah harta
3)      Tidak merasa bersyukur dengan apa yang telah diberikan Allah S.W.T.
4)      Lemahnya iman
5)      Selalu ingin menambah harta dengan berbagai cara termasuk riba.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, tetapi juga terdapat pada al-hadist. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah S.A.W. masih menekankan sikap Islam yang melarang riba.
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang kita akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”

5.      Bunga vs Riba dalam Islam
Para sarjana muslim modern berbeda pandangan tentang apakah larangan riba sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an teraplikasikan dalam bunga bank modern. Perbedaan ini tampaknya terfokus pada salah satu dari permasalahan sentral sebagai berikut, yaitu: pertama, larangan riba dipahami dengan menekankan pada aspek rasional, melalui pemahaaman ini, unsur ketidak adilan menjadi isu sentral atas pelarangannya. Kedua larangan riba dipahami berdasarkan legal formal sebagaimana yang dikonseptualisasikan dalam hukum islam (fiqh).
A.    Pandangan pra modernis tentang riba dan bunga
Para modernis seperti Fazlur Rahman (1964), Muhammad Asad(1984), Said al-Najjar (1989), dan Abd al-Mun’im al-Namir (1989) menekankan perhatiannya pada aspek moral sebagai bentuk pelarangan riba dan mengesampingkan aspek legal formal dari larangan riba sebagaimana yang dijelaskan dalam hokum islam. Argumentasi mereka adalah sebab dilarangnya riba karena menimbulkan ketidakadilan sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an. Para modernis juga mendasari pendapat mereka dengan pandangan para ulama klasik, sebab larangan riba bahwa pemberi pinjaman (lender) akan semakin kaya sedangkan peminjam dana akan semakin miskin.
Berdasarkan penjelasan diatas tampaknya pelarangan riba karena lebih mengandung unsure eksploitasi terhadap kaum fakir miskin, daripada factor bunganya. Eksploitasi ini dilakukan melalui bentuk pinjaman yang berusaha mengambil keuntungan dari nilai pinjaman yang mengakibatkan kesengsaraan kelompok lain. Para modernis dalam menanggapi berbagai macam bentuk bunga yang dipraktekkan dalam system bank konvensional berusaha membedakan pandangannya antara membolehkan bunga bank secara sah menurut ketentuan hokum menolakknya. Penoalakan terhadap bunga bank umumnya berdasarkan pada pemahaman dan adanya unsure ketidakadilan.
Beberapa argument pandanagan moderenis
Sekalipun ayat-ayat dan hadis riba sudah jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Diantaranya karena alasan berikut:

1)      Dalam keadaan darurat.
Imam Suyuti dalm bukunya menegaskan bahwa darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidaksegera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat akan membawanya kejurang kehancuran atau kematian.

“… barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakanya), sedang dia (1) tidak menginginkanya, dan (2) tidak melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesunggunhya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(al Baqarah: 173)
Pembatasan yang pasti dalam pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al-quwaid al-fiqhiyah seputar kadar darurat.
Sesuai dengan ayat diatas para ulama merumuskan kaidah,
“darurat itu harus dibatasi sesuai kadarny” artinya darurat itu maa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya.
2)      Hanya bunga yang berlipat ganda saja ybang dilarang sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak menzalimi diperkenankan.
ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surat Ali Imran ayat 130 yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Sllah SWT supaya kalian mendapatkan kenberuntungan.”
Sepintas surat Ali Imran ayat 130 ini memang hana melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi memahami kembali ayat tersebut secara cermat. Termasuk mengkaitkanya dengan ayat-ayat rina yang lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.
3)      Badan hukum dan hukum taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba diturunkan dan disampaikan di Jazirah Arabian belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Bank sebagai lembaga tidak termasuk dalam kategori mukallaf. Dengan demilkian tidak tekena khitab ayat-ayat dan hadist riba. Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.

B.     Pandangan neo-revivalis tentang riba dan bunga
Pandangan ini menekankan bentuk legal dari riba sebagaimana diungkapakan dalam hukum islam, dan menegaskan bahwa pernyataan yang diterapkan dalam al-Quran harus diambil makna harfiahya, tanpa memperhatikan apa yang dipraktikkan didalam periode pra-islam. Menurut pandangan ini karena al-Qur’an telah menyatakan bahwa hanya uang pokok yang diambil, maka tidak ada pilihan kecuali menafsirkan riba sesuai dengan pernyataan itu. Oleh karena itu, keberadaan ketidakadilan atau sebaliknya didalam sebuah transaksi pinjaman tidak relevan. Apapun keadaanya, pemberi pinjaman tidak mempunyai hak untuk menerima tambahan atas dan melebihi uang pokok. Bagaimanapun penafsiran neo-Revivalis tentang riba, ini adalah penafsiran yang menjadi dasar dari teori dan praktik perbankan islam sekarang ini.

6.      Riba dalam Konteks Agama Selain Islam
Riba tidak hanya dilarang dalam Agama Islam saja, dalam sejarah Yunani dan Romawi sekitar abad VI sebelum masehi hingga I masehi telah terdapat jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi bergantung pada kegunaannya. Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).
Dua filsafat Yunani yang terkenal antara lain Plato (427 – 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM) mengecam praktik bunga begitu pula Cicero (106 – 43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktikan pengambilan bunga. Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Sedangkan dalam pandangan Kristen tentang Bunga dalam abad pertengahan, pengambilan apa yang sekarang kita sebut bunga adalah usury (bunga yang berlebihan) dan usury adalah dosa, dikutuk dengan kata-kata yang sangat keras. Hukum Gereja pada abad pertengahan, melarang pembayaran atas penggunaan suatu pinjaman, yang menurut hukum Romawi disebut Usura. Tetapi meskipun seseorang dilarang memungut uang sebagai pembayaran atas suatu pinjaman, ida dapat meminta kompensasi “damna et interesse” jika ia tidak dibayar lunas pada waktunya. Interesse merupakan kompensasi yang diberikan oleh seorang debitur (penmberi utang).
Adapun kutipan ayat-ayat larangan riba dalam kitab agama Yahudi baik dalam Perjanjian Lama (Old Testament):
-          Kitab Exodus (Keluaran) Pasal 22 : 25 “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah satu umat Ku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.
-          Kitab Deuteronomy (Ulangan) Pasal 23 : 19 “ Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan”
-          Kitab Levictus (Imamat) pasal 25ayat 35 :37 “Apabila saudaramu jatuh miskin sehingga tidak sanggup bertahan diantaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang supaya ia dapat hidup diantaramu. (35) Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut kepada Allah mu supaya saudaramu dapat hidup diantaramu. (36) Janganlah engkau memberi atau meminjamkan uang kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah engkau berikan dengan meminta riba”.
Dalam agama Kristen adapun kutipan ayat-ayat larangan riba :
-          Lukas 6 : 34- 35 “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.(36) “ Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
1.      pemberian pinjaman uang dilakukan atas barang-barang yang dititipkan (gadai atau jaminan) oleh si pemberi pinjaman. Pengharaman Riba juga diperluas pada jenis-jenis kolateral yang dapat digunakan.
St. Thomas juga mengutuk riba karena ia membawa kepada ketidak setaraan yang berlawanan dengan keadilan. Peringatan Injil atas Riba disertai oleh penyebutan kaum lemah, para janda, dan yatim piatu, dan mereka yang berada dalam kemiskinan, yaiitu kaum yang kepada siapa kita dianjurkan untuk memberi pinjaman gratis, tanpa Atas dasar ayat tersebut gereja dengan tegas mengharamkan riba secara total. Riba merupakan bentuk kemaksiatan dan perbuatan jahat, sehingga orang yang tidak melarang riba dianggap orang Murtad. Dalam agama Kristen, pelarangan yang keras atas riba berlaku selama lebih dari 1.400 tahun.
Mengapa Kaum Kristen membenci Riba :
2.      Riba bertentangan dengan ajaran Yesus. Meskipun pasal-pasal dalam kitab Injil dapat ditafsirkan secara berbeda-beda namun tiadanya penghukuman secara khusus tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa berdasarkan peristiwa pengusiran para rentenir oleh Yesus dan prinsip perbuatan berbicara lebih keras daripada kata-kata, maka peminjaman uang dengan menarik bunga dianggap sebagai bentuk perolehan keuntungan yang sangat buruk.
3.      Hukum Yahudi secara terang-terangan mengharamkan riba. Satu-satunya, persoalan adalah kepada siapa dan seberapa luas larangan itu berlaku, namun dari masa-masa yang paling awal sekali umat Kristen paling tidak pasti sudah memiliki beberapa ilusi mengenai hal itu St. Jerome (340 – 420) dan St. Ambrose (340-97) menyatakan bahwa kata saudara-saudara dalam Ulangan telah di universalkan oleh para Nabi dan Kitab Perjanjian Baru ( Kasihilah musuh-musuhmu) konsekuensi nya , tidak ada pembenaran dari Kitab Suci untuk memungut riba dari siapapun.
4.      Kitab Injil juga dengan keras melarang aktivitas yang berhubungan dengan pinjaman. Banyak mengharapkan imbalan apapun dari pinjaman itu.

BAB III PENUTUP

1.      KESIMPULAN
Berdasarkan fakta sejarah, riba telah ada sejak zaman dahulu kala. Bahkan bisa jadi riba elah ada semenjak manusia mulai mengenal uang (emas dan perak). Praktik riba telah mendarah daging pada perilaku manusia, sehingga sulit untuk melepaskan diri dari hal-hal yang mengarah pada riba.
Allah S.W.T. sangat melarang praktik riba, seperti firmannya dalam Al-Qur’an dan yang dicontohkan Rasulullah melalui hadist. Banyak ulama juga yang melarang riba melaui fatwanya karena riba sangat merugikan kaum-kaum yang lemah dan hanya menguntungkan kaum yang kuat. Selain Islam, riba juga dilarang menurut pandangan agama lain, sehingga tak alasan bagi kita untuk mendekati riba.
Larangan Allah S.W.T. melarang riba dalam empat fase, seperti yang dijelaskan pada: Q.S. Ar-Ruum ayat 30 untuk fase pertama, Q.S. An-Nisaa ayat 160-161 untuk fase keuda, Q.S. Ali Imran ayat 130 untuk fase ketiga danQ.S. Al-Baqarah ayat 278-279 untuk fase terakhir. Riba sendiri terbagi dalam beberapa bentuk, yaitu: Riba Qardh, riba Jahiliyyah , riba Fadhl; dan riba Nasi’ah
Meskipun masih terdapat beberapa perseberangan pandangan mengenai riba, tapi maknanya mengerucut pada satu hal. Riba dengan tujuan untuk melipat gandakan harta dengan memakan hak orang lain merupakan hal yang jelas dilarang.




DAFTAR PUSTAKA

Saeed, Abdulllah. 2008. Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh: Muhammad Ufuqul Mubin dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.Jakarta: Gema Insani
Lewis, M. K. dan Latifa Algaoud. 2003. Perbankan Syariah: Prinsip, Prospek. Diterjemahkan oleh: Burhan Wirasubrata. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Fauzan, Muhammad. 2014. Sejarah Riba (online).  Tersedia: http://ozan993.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-riba.html [02 Oktober 2017]
Umbara, Riza. 2015. Sejarah Hukum Islam, Riba dalam Ekonomi di Masa Rasul. (online) Tersedia: http://rizaumbara.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-hukum-islam-riba-dalam-ekonomi.html  [02 Oktober 2017]



[1]Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga. Diterjemahkan oleh: Muhammad Ufuqul Mubin dkk. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008)
[2]Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001)
[3]Al-Rzi dalam tafsirnya, Tafsir Al-Kabir, selanjutnya disebut al-kabir, (Tuhran: Dir al-Kutub al-‘ilmiyyah, cet. II, tt.).
[4]Al-Tabari, jami’ al-bayan fi Tafsir al-Qur’an. Selanjutnya disebut al-Bayan. (Mesir; ‘Isa al-Bab al-Halabi, 1954), J.IV, hlm.59.
[5]Umbara, Riza, “Sejarah Hukum Islam, Riba dalam Ekonomi di Masa Rasul”diakses dari: http://rizaumbara.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-hukum-islam-riba-dalam-ekonomi.html, pada tanggal 2 Oktober 2017 pukul 12.00
[6]Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga. Diterjemahkan oleh: Muhammad Ufuqul Mubin dkk. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008