Wednesday, December 12, 2018

KERUGIAN POTENSIL


DAFTAR KERUGIAN POTENSIIL


4.1. PENGERTIAN
Dari kegiatan mengidentifikasi risiko akan dihasilkan/dibuat suatu daftar mengenai kerugian potensiil, baik yang mungkin menimpa bisnisnya maupun bisnis apapun. Daftar ini disebut ”daftar kerugian potensiil” atau ”check list”.
Jadi dari daftar tersebut akan dapat diketahui kerugian apa saja dan bagaimana terjadinya yang mungkin dapat menimpa bisnisnya, sehingga dapat dipakai sebagai dasar di dalam menentukan kebijaksanaan pengendalian risiko.
Dari seluruh kerugian potensiil yang mungkin menimpa suatu bisnis pada pokoknya dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1.      Kerugian atas harta (property losses).
2.      Kerugian berupa kewajiban kepada pihak ketiga (liability losses).
3.      Kerugian personil (personal losses).

4.2. KERUGIAN ATAS HARTA

4.2.1. Pembagian Jenis Harta
Kerugian harta adalah kerugian yang menimpa ”harta milik” perusahaan. Dimana untuk kepentingan penanggulangan risiko harta dibagi ke dalam :
a.       Benda tetap (”real estate”), yaitu harta yang terdiri dari tanah dan bangunan yang ada di atasnya.
b.      Barang bergerak (”personal property”), yaitu barang-barang yang tidak terikat pada tanah, yang selanjutnya dapat dibagi lagi ke dalam :
b.1.  barang-barang yang digunakan untuk melakukan aktivitas produksi dan aktivitas-aktivitas perusahaan lainnya, yang meliputi antara lain : bahan baku dan pembantu, peralatan, suku cadang dan sebagainya,
b.2.  barang-barang yang akan dijual, misalnya : hasil produksi (perusahaan industri), barang dagangan (perusahaan perdagangan), surat-surat berharga (pialang), uang (bank) dan sebagainya.

4.2.2. Penyebab Kerugian
Penyebab kerugian terhadap harta yang dibedakan ke dalam :
1.      Bahaya phisik, yaitu bahaya yang menimbulkan kerugian, yang bukan berasal dari ulah manusia. Umumnya bahaya yang timbul karena kekuatan alam, seperti : kebakaran, angin topan, gempa bumi yang dapat merusak harta.
2.      Bahaya sosial, yaitu bahaya yang timbul karena :
a.       adanya penyimpangan tingkah laku manusia dari norma-norma kehidupan yang wajar, misalnya : pencurian, penggelapan, penipuan dan sebagainya,
b.      adanya penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh manusia secara kelompok, misalnya : pemogokan, kerusuhan dan sebagainya.
3.      Bahaya ekonomi, yaitu bahaya-bahaya yang disebabkan oleh kekuatan eksternal maupun internal perusahaan, misalnya : mismanajemen, resesi ekonomi, perubahan harga, persaingan dan sebagainya.
Dalam kaitan ini Manajer Risiko lebih menitik-beratkan perhatiannya pada bahaya phisik dan bahaya sosial, karena dari situlah umumnya risiko murni bersumber.
Kerugian harta yang bersumber dari bahaya sosial dapat berasal dari orang dalam perusahaan sendiri, misalnya : korupsi, manipulasi dan mungkin pula dilakukan oleh orang lain, misalnya : pencurian, penipuan dan sebagainya.
Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan karyawan sendiri (penggelapan) biasanya dikarenakan adanya ketidak-jujuran dari karyawan yang bersangkutan. Dimana karyawan menggunakan harta yang bukan miliknya, tetapi milik perusahaan untuk kepentingannya sendiri. Ketidak-jujuran karyawan dapat dikategorikan ke dalam :
a.       penggelapan yang sudah dipikirkan masak-masak; biasanya mereka yang menerima pekerjaan di suatu perusahaan sudah dengan maksud untuk memudahkan mencuri harta milik perusahaan, biasanya bahaya kerugiannya besar,
b.      penggelapan yang dilakukan oleh karyawan yang mempunyai kebutuhan (keuangan) yang mendesak, sehingga yang bersangkutan membenarkan keputusannya untuk menggelapkan harta milik perusahaan, biasanya kerugiannya tidak begitu besar,
c.       penggelapan yang dilakukan karena berbagai alasan, yang bukan bermaksud memperkaya diri, misalnya : kleptomani, balas dendam dan tekanan-tekanan psikologis lainnya, biasanya pencurian yang dilakukan dalam skala kecil, sehingga bagi perusahaan tidak begitu membahayakan (merugikan).
Kejahatan yang dilakukan oleh pihak luar, yang didorong oleh keinginan untuk mencuri biasanya perlu dibedakan ke dalam :
a.       yang dilakukan oleh pencuri yang profesional, yang biasanya melakukan pencurian setelah mengamati situasi dari sasaran secara seksama, demi kelancaran dan keamanan kejahatannya, umumnya jumlah kerugiannya besar,
b.      yang dilakukan oleh pencuri amatiran, yaitu pencurian-pencurian yang dilakukan hanya karena kecenderungan menuruti kata hati, bukan didorong oleh keinginan untuk mencuri, tetapi oleh keinginan lain, seperti : kebutuhan yang mendesak, kekacauan mental (kleptomani), biasanya kerugian yang ditimbulkan tidak begitu besar.

4.2.3 Macam-macam Kerugian atas Harta
Kerugian yang menimpa harta karena terjadinya peril dapat dibedakan ke dalam :
1.      Kerugian langsung.
2.      Kerugian tidak langsung.
3.      Kerugian net income.
ad.1.  Kerugian langsung adalah kerugian yang langsung dapat dikaitkan dengan peril yang menimpa harta tersebut, yaitu kerugian yang diderita karena rusaknya atau hancurnya harta yang terkena peril, misalnya gedung terbakar, dimana kerugiannya berupa nilai dari gedung tersebut, yang besarnya sama dengan nilai pembangunan kembali atau biaya perbaikan terhadap gedung yang bersangkutan.
ad.2.  Kerugian tidak langsung adalah kerugian yang disebabkan oleh berkurangnya nilai, kemsakan atau tidak berfungsinya barang lain selain yang terkena peril.
Contoh  : 1.  Makanan, minuman, obat-obatan menjadi rusak dikarenakan lingkungan yang berubah disebabkan oleh peril yang telah menimpa harta lain (misalnya gardu instalasi listriknya terbakar), sehingga pengaturan tem­perature dan kelembaban menjadi kacau balau.
                 2.  Harta yang terdiri dua komponen atau lebih, apabila salah satu komponennya rusak, maka nilai dari komponen-komponen yang lain ikut menjadi berkurang, meskipun sebetulnya tidak rusak.
                 3.  Suatu gedung rusak berat, tetapi tidak seluruhnya rusak artinya masin ada bagian-bagian yang tidak mengalami kerusakan dan bila dibangun kembali gedung harus dibongkar seluruhnya. Kerugian tidak langsungnya : biaya pembongkaran dan pembangunan kembali bagian gedung yang sebetulnya tidak rusak.
                 4.  Bila rusaknya satu alat produksi mengakibatkan beberapa karyawan terpaksa harus menganggur untuk beberapa hari dan mereka itu umumnya harus tetap dibayar upah / gajinya. Kerugian tidak langsungnya adalah gaji / upah karyawan yang harus nganggur tersebut.
ad.3.  Kerugian net income (= pendapatan dikurangi biaya), yaitu penurunan net income suatu perusahaan, karena hilangnya / berkurangnya manfaat suatu harta, baik sebagian maupun seluruhnya karena peril, sampai harta tersebut diganti atau dipulihkan seperti semula. Sebab hal itu akan mengakibatkan di satu pihak pendapatan perusahaan menurun dan di lain pihak biayanya naik.
Meskipun jenis kerugian ini sering jauh lebih besar daripada kerugian langsung maupun tidak langsung, tetapi banyak perusahaan yang tidak / kurang menyadari adanya kerugian ini. Hal ini dikarenakan manajer risiko lebih sukar untuk mengidentifikasi dan mengukur kerugian net income, karena banyaknya variabel yang terlibat, yang tidak mudah untuk mengidentifikasi dan mengukurnya.

4.2.4. Subyek Kerugian Harta
Dalam kaitan masalah kerugian atas harta pertama-tama perlu dipahami bahwa pengertian harta disini lebih luas dari aset nyata. Dalam pengertian harta disini tercakup pula sekumpulan hak yang berasal dari atau merupakan bagian dari aset nyata, yang juga mempunyai nilai ekonomis yang pasti. Hak tersebut dapat berupa berbagai bentuk, yang dapat diperoleh dengan berbagai cara.
Untuk mengidentifikasi dan mengukur kerugian dalam bisnis, Manajer Risiko harus mengetahui dan memahami jenis-jenis kepemilikan yang berbeda yang mungkin ada dan bagaimana menilainya.
Hal kedua yang perlu dipahami pula adalah bahwa sebagai konsekuensi lebih luasnya pengertian harta dari pada aset nyata adalah bahwa orang yang dapat menderita (subyek kerugian) tidak selalu orang yang memiliki harta tersebut, tetapi mungkin pihak lain yang bukan pemiliknya.
Berkaitan dengan kedua hal tersebut berikut akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan kepemilikan dan siapa yang bertanggung-jawab atas atau menderita kerugian-kerugian harta yang terkena suatu peril.

4.2.4.1. Kepemilikan
Kepemilikan atas harta adalah merupakan kepemilikan tunggal, sebagai hasil dari : pembelian, penyitaan barang jaminan, hadiah atau hasil-hasil dari kejadian yang lain. Jika harta terkena peril, maka pemiliknyalah yang akan menderita / bertanggung jawab atas kerugian akibat peril tersebut. Demikian pula bila ia hanya memiliki sebagai dari harta tersebut, maka ia juga hanya menanggung sebagian saja dari kerugian tersebut.

4.2.4.2. Kredit dengan jaminan
Kreditur yang memberikan kredit dengan jaminan mempunyai hak / bagian atas harta yang digunakan sebagai jaminan. Dimana kemampuan menagih kreditur akan berkurang (menderita kerugian) bila harta yang dijaminkan rusak atau hancur, karena terkena peril, yang berarti kerugian berupa tidak terbayarnya sebagian atau seluruh piutangnya, meskipun kreditur bukan pemilik harta tersebut.
Dimana hak kreditur atas harta yang dipakai sebagai jaminan adalah sebanding dengan nilai dari piutangnya (ditambah bunga). Hal ini akan terlihat jelas pada kasus bila harta yang dipakai sebagia jaminan itu diasuransikan dan terkena peril, maka kreditur akan berhak atas sebagian ganti rugi yang diterima dari perusahaan asuransi, sebesar piutang ditambah bunganya.

4.2.4.3. Jual-beli Bersyarat
Tanggung jawab terhadap kerugian-kemgian yang terjadi dalam transaksi jual-beli bersyarat adalah tergantung pada syarat-syarat yang ditentukan dalam kontrak jual-beli termaksud. Artinya tanggung jawab dapat di pundak penjual dan bisa juga pada pembeli, tergantung pada bagaimana isi persyaratan kontrak jual-belinya.
Dalam kaitan ini sudah ada ketentuan umum yang berlaku secara internasional, yang dikenal dengan istilah “Uniform Commercial Code”. Beberapa ketentuan umum tersebut antara lain :
a.       Bila persyaratan “loco gudang“ (penjual), berarti bahwa segala kerugian yang terjadi sesudah barang keluar dari gudang penjual, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli.
b.      Bila persyaratan “anco gudang perusahaan pengangkutan“, hal ini berarti bahwa barang sudah menjadi milik pembeli pada saat barang berada di gudang perusahaan pengangkutan dan ongkos angkut sudah dibayar oleh pembeli. Jadi segala kerugian yang terjadi sesudah itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli. Dalam kasus ini perusahaan pengangkutan bertindak sebagai wakil pembeli.
c.       Bila persyaratannya “franco tempat tujuan” atau  franco gudang (pembeli)”, berarti barang baru menjadi milik pembeli sesudah diserahkan di gudang pembeli oleh perusahaan pengangkutan. Dengan demikian kerugian yang terjadi sebelum penyerahan menjadi tanggung jawab penjual. Dalam hal ini berarti perusahaan pengangkutan bertindak sebagai wakil penjual.
d.      Bila persyaratannya “F.A.S” (“free alongside ship”), berarti barang menjadi milik pembeli bila barang sudah siap untuk diangkut (barang sudah ada di pelabuhan dan siap dimuat ke atas kapal). Dengan demikian kerusakan / kerugian selama barang dalam pengangkutan / pengiriman menjadi tanggung jawab pembeli.
e.       Bila persyaratannya “C.O.D” (“Collect on Delivery”), maka barang masih tetap menjadi milik penjual meskipun sudah berada di tangan pembeli, sampai harga barang tersebut dibayar lunas. Dapat juga barang sudah menjadi milik pembeli pada saat ongkos angkut sudah dibayar lunas oleh pembeli, tetapi penjual masih mempunyai hak gadai terhadap barang tersebut, sampai harga barang dibayar lunas.
f.       Bila persyaratannya “C.1.F” (“Cost Insurance and Freight”), maka kepemilikan barang-barang berpindah ke pembeli pada saat barang diserahkaan kepada perusahaan pengangkutan, disertai dengan dokumen-dokumen asuransi, pengangkutan dan surat-surat tanda kepemilikan (“conyosemen”).

4.2.4.4. Sewa-menyewa
Umumnya penyewa tidak bertanggung jawab atas kerugian harta yang disewa yang terkena peril. Tetapi ada beberapa perkecualian terhadap ketentuan umum ini, yaitu antara lain :
a.       Berdasarkan hukum adat penyewa bertanggung jawab atas kerusakan harta yang disewanya, yang disebabkan oleh kecerobohannya.
b.      Bila dalam kontrak sewa-menyewa ditentukan bahwa penyewa harus mengembalikan harta kepada pemiliknya dalam kondisi baik, seperti pada waktu diterima, kecuali kerusakan-kerusakan karena keusangan / keausan, maka bila ada kerusakan menjadi tanggung jawab penyewa.
c.       Penyewa melakukan perubahan terhadap harta tetap yang disewakannya, dengan harapan mendapatkan beberapa manfaat dari perubahan tersebut. Maka :
a.      jika pada saat penyerahan kembali perubahan dapat dikembalikan seperti keadaan semula penyewa akan memperoleh keuntungan,
b.      tetapi bila perubahan tersebut tidak dapat dikembalikan seperti semula, maka kerusakan terhadap harta tetap akibat perubahan tersebut menjadi tanggung jawab penyewa.

4.2. Bailments
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengalami bahwa ada barang-barang yang untuk sementara berada di tangan orang lain (bukan pemilik yang sebenarnya).
Contoh  : -    Mobil yang direparasikan, untuk sementara barada di tangan pemilik bengkel.
                 -    Pakaian yang dibinatukan, untuk sementara berada di tangan tukang binatu.
                 -    Barang-barang yang disimpan di gudang yang disewa.
Orang-orang atau badan-badan yang menguasai harta orang lain untuk sementara disebut ”bailee” dan si pemilik barang disebut ”bailor”, sedang perjanjian antara bailee dan bailor disebut ”bailments”.
Jadi yang dapat dikategorikan sebagai bailee adalah termasuk bisnis-bisnis yang mengerjakan barang milik orang lain.
Dimana selama berada di tangan bailee ada kemungkinan bahwa barang akan terkena peril. Tanggung jawab terhadap kerugian akibat peril tersebut tergantung pada isi penjanjian (bailment)nya. Tetapi meski bagaimanapun juga bailee bertanggung jawab terhadap kerugian harta yang sementara ada di tangannya, yang diakibatkan oleh kecerobohannya.
Kadang-kadang karena suatu sebab tertentu perjanjian telah dibuat sebelum terjadi kerugian atau karena keinginan dari bailee untuk menjaga hubungan baik dengan pelanggannya (bailor), bailee memikul tanggung jawab untuk kerugian-kerugian yang tak terduga terhadap harta pelanggan yang ada di tangannya, sekalipun kerugian itu bukan karena kecerobohannya. Bailee yang bertindak demikian pada hakekatnya adalah sebagai wakil atau agen pemilik.
Karakteristik dari hubungan ini (bailments) antara lain:
1.      Identitas harta (“the title of the property”) atau bukti kepemilikan masih ada di tangan bailor.
2.      Kepemilikan atau penguasaan harta untuk sementara berada di tangan bailee.
3.      Pemindahan kepemilikan atau penguasaan kepada orang lain dari harta harus merupakan pemindahan posisi dari seorang bailee dan harus mendapat persetujuan dari bailor.
Mengenai sampai dimana tanggung jawab terhadap harta yang untuk sementara .berada di bawah kekuasaan Bailee, hukum menentukan 3 macam kategori, yaitu :
1.      Bila penyerahan (bailments) tersebut untuk kepentingan bailor dan bailee tidak mendapatkan kompensasi apapun atas pemeliharaan dan pengamanan harta tersebut, maka bailee tidak bertanggung jawab kepada kerugian harta tersebut.
Contoh   :    Seseorang menitipkan barangnya kepada temannya, tanpa ada kompensasi atas penitipan tersebut, bila harta yang dititipkan terkena peril, maka temannya tidak bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
2.      Bila penyerahan tersebut untuk kepentingan bailee, dimana bailee dapat meminjam dan memanfaatkan harta tersebut untuk sementara waktu tanpa kompensasi apapun kepada bailor, maka bailee bertanggung jawab atas kerugian harta yang bersangkutan.
Contoh   :    Pemilik bengkel yang memanfaatkan mobil yang sudah selesai diperbaiki sebelum diserahkan kepada pemiliknya dan pemilik tidak mendapatkan kompensasi apapun atas pemanfaatan (misalnya disewakan), maka bila mobil tersebut terkena peril, kerugian menjadi tanggung jawab pemilik bengkel.
3.      Penyerahan tersebut untuk kepentingan kedua belah pihak (bailee dan bailor) dan kedua belah pihak mendapatkan manfaat dari penyerahan tersebut, maka kerugian terhadap harta yang diserahkan menjadi tanggung jawab kedua belah pihak.
Contoh   :    Seorang pemilik mobil menyerahkan mobilnya kepada perusahaan penyewaan mobil, dimana pemilik mendapatkan bagian dari hasil persewaannya, maka bila mobil tersebut terkena peril, kerugiannya dipikul bersama oleh pemilik dan perusahaan persewaan.

4.2.4.6. Easement
Easement adalah hak bagi seseorang untuk memanfaatkan harta yang bukan miliknya dan hak penggunaan tersebut diakui oleh pemiliknya, maka bila terjadi kerugian atas pemanfaatan harta tersebut menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkan (pemakai). Hak ini biasanya diperoleh melalui pengungkapan / pengakuan secara tidak langsung, tetapi mungkin juga diperoleh melalui sebuah perjanjian / akte (disebut ”prescription”).
Contoh  :    Seorang pengusaha bahan bangunan mempunyai hak untuk menggunakan halaman tetangganya untuk menyimpan sebagian barang dagangannya. Bila terjadi kerugian akibat penempatan barang dagangan tersebut, maka kerugiannya menjadi tanggung jawab pedagang bahan bangunan itu sendiri.

4.2.4.7. Lisensi
Lisensi adalah hak istimewa yang diberikan oleh pemilik harta kepada pihak lain untuk mcnggunakan harta tersebut, bagi suatu tujuan yang spesifik. Bila terjadi kerugian akibat penggunaan tersebut, kerugiannya menjadi tanggung jawab pemilik atau bisa juga menurut perjanjian.
Contoh  :    Hak penggunaan merek dan formula obat-obatan yang diperoleh beberapa perusahaan pharmasi di Indonesia atas mereka dan formula obat-obatan produksi luar negeri. Misalnya : hak PT. Medifarma Laboratories, Inc. untuk memproduksi obat dengan merek dan formula ”Neozep”, milik United American Pharmaceuti-cals, Ltd.

4.2.5. Menghitung Nilai Kerugian
Setelah seorang manajer risiko berhasil mengidentifikasi adanya kerugian harta yang dihadapi perusahaan, maka ia harus menghitung besarnya nilai kerugian tersebut, guna memperkirakan besarnya (kegawatan) dari risiko tersebut.
Ada beberapa ukuran dasar untuk melakukan penaksiran nilai kerugian yang telah diakui oleh penilai, lembaga-lembaga maupun orang-orang yang bekerja secara profesional dalam bidang penaksiran. Meskipun harus tetap diakui adanya kelebihan dan kekurangan dari masing-masing ukuran dasar tersebut, yang mana yang akan dipilih untuk dipakai biasanya tergantung pada tujuan dari penilaian yang bersangkutan.
Metode atau ukuran dasar tersebut antara lain :
1.      Biaya yang sesungguhnya dari harta. Jadi nilainya tergantung pada kondisi pasar pada saat dilakukan pembelian, antara lain : kekuatan tawar menawar, apakah harta masih baru atau sudah tangan kedua dan faktor-faktor lain. Kelemahan dari metode ini : penilaian tidak dapat mencerminkan perubahan teknologi atau mode.
2.      Nilai buku. Jadi nilai harta sebesar harga pembelian dikurangi dengan penyusutan.
3.      Nilai taksiran pajak, yaitu penilaian yang diberikan oleh petugas pajak pada waktu menetapkan pajak perseroan perusahaan yang bersangkutan. Kelemahan metode ini : sering tidak dapat mencerminkan nilai yang sebenarnya dari harta.
4.      Biaya memproduksi kembali, memperbaiki atau biaya penggantian harta agar kembali seperti semula.
Kelebihan dari metode ini : kurang dipengaruhi oleh unsur subyektif ; sedang kelemahannya : nilainya akan di atas nilai pasar. Metode ini cocok untuk harta yang penggantiannya hanya sebagian (cukup direparasi untuk mengembalikan pada keadaan semula).
5.      Nilai pasar, Jadi ditentukan oleh kemauan penjual untuk menerima pembayaran dan kemauan pembeli untuk membayar harta tersebut dalam suatu transaksi, pada saat dilakukan penilaian terhadap harta tersebut.
6.      Biaya penggantian dikurangi dengan penyusutan dan keusangan.
Kelebihan metode ini akan menghasilkan penilaian bahwa harta baru mempunyai nilai bisnis yang lebih tinggi dari pada harta yang lama, Sedang kelemahannya metode ini agak bersifat subyektif. Metode ini yang sering dipakai oleh perusahaan asuransi dalam menilai harta yang akan ditanggungnya, sebab metode ini mendasarkan pada ”actual cash value”.
Penyusutan adalah hal yang berkaitan dengan umur, sedang keusangan berkaitan dengan masalah mode atau perubahan design.
Metode yang biasa digunakan oleh perusahaan asuransi adalah metode yang ke 4, 5 dan 6.
Ada satu masalah lain yang berkaitan dengan penilaian harta, yaitu masalah ”Pembuangan”. Yaitu masalah yang timbul jika suatu harta terkena peril, tetapi tidak seluruhnya menjadi hancur. Masalahnya adalah : apakah harta tersebut cukup diperbaiki saja, berarti bagian harta yang masih baik tetap dipakai, tidak dibuang atau harus diganti seluruhnya, yang berarti bagian harta yang masih baik dibuang. Persoalannya disini adalah bila diganti seluruhnya adalah pembuangan bagian harta yang sebetulnya masih dapat dipakai, yang tentu saja berakibat biaya keseluruhan untuk perbaikan kembali menjadi lebih tinggi.
Pemecahannya umumnya dengan cara membandingkan ”PV” (present value) cash flow dari kedua alternatif tersebut. Artinya :
¨    apabila ”pv. cash flow” dengan perbaikan lebih besar dari pada ”pv, cash flow” dengan penggantian / pembuangan, maka sebaiknya harta tersebut diperbaiki saja;
¨    apabila ”pv. cash flow” dengan perbaikan lebih kecil dari pada ”pv. cash flow” dengan penggantian / pembuangan, maka sebaiknya harta tersebut diganti seluruhnya.

4.2.6. Sumber Kerugian Net Income
Pada prinsipnya sumber kerugian terhadap net income terdiri dari dua hal, yaitu :
1.      Pendapatan yang menurun.
2.      Biaya yang meningkat.

4.2.6.1. Pendapatan yang menurun
Bila suatu perusahaan tertimpa peril, maka pendapatannya akan mengalami penurunan, yang disebabkan antara lain :
1.      Kerugian uang sewa
Jika suatu harta yang disewakan rusak / hancur terkena peril, penyewa umumnya tidak akan mau membayar sewa selama harta itu masih dalam perbaikan atau selama tidak dapat digunakan
2.      Gangguan terhadap operasi perusahaan
Bila suatu perusahaan hartanya terkena peril, ia akan terpaksa mengehentikan atau mengurangi volume operasinya, hal maka akan mengakibatkan :
a.       net profit yang seharusnya diterima akan hilang,
b.      biaya yang tetap harus dikeluarkan, meskipun operasi perusahaan mengalami gangguan.
3.      Gangguan tak terduga di dalam bisnis, misalnya karena terganggunya kegiatan dari supplier atau penyalur dari perusahaan.
4.      Hilangnya profit dari barang jadi yang mestinya bisa dijual, yang rusak karena kerusakan alat produksi atau barang jadi itu sendiri yang terkena peril.
5.      Pengumpulan piutang akan menurun.
Bila karena peril bukti-bukti piutang hilang, maka penagihan piutang akan menjadi lebih sulit, sehingga piutang yang bisa terkumpul menjadi menurun.
Juga karena : perusahaan yang terkena peril biasanya perhatian lebih dicurahkan pada penyelamatan operasi perusahaan dari pada untuk mengumpulkan piutang, sehingga aktivitas pengumpulan piutang akan menurun dan hasilnya juga akan turun.

4.2.6.2. Biaya yang meningKat
Bila suatu perusahaan terkena peril dapat mengakibatkan kenaikan beberapa jenis biaya, antara lain:
1.      Kerugian nilai sewa.
Dimana karena kerusakan bangunan/peralatan tersebut maka untuk melanjutkan operasinya perusahaan terpaksa untuk sementara harus menyewa peralatan lain. Bila yang rusak harta yang disewa, perusahaan harus menyewa lagi barang lain dan sewa yang sudah dibayar menjadi hilang.
2.      Biasanya perlu dikeluarkan biaya ekstra untuk meneruskan operasi perusahaan secara normal akibat adanya peril dan demi memelihara hubungan baik dengan pelanggan. Untuk itu biasanya perlu disusun suatu rencana tentang apa yang harus dilakukan setelah terjadi peril, agar :
a.       perusahaan dapat beroperasi dengan lebih cepat dan lebih efisien,
b.      dapat menentukan besarnya biaya ekstra yang harus dikeluarkan.
3.      Pembatalan kontrak sewa yang bernilai tinggi, dimana biasanya sewa jangka panjang lebih murah dari pada sewa jangka pendek.
4.      Hilangnya manfaat yang diakibatkan oleh perbaikan / perubahan yang dilakukan penyewa terhadap harta yang disewa, yang mengalami kerusakan.

4.3. TANGGUNG JAWAB ATAS KERUGIAN PIHAK LAIN

4.3.1. Pengertian
Tanggung jawab atas kerugian pihak lain (”Liability Loss Exposures”) timbul karena adanya kemungkinan bahwa aktivitas perusahaan menimbulkan kerugian harta atau personil pihak lain tersebut, baik yang disengaja maupun tidak. Tanggung jawab ini timbul dapat dikatakan sebagai penjabaran dari ungkapan norma kehidupan masyarakat, yaitu : ”Siapa yang berbuat, dialah yang bertanggung jawab”. Tanggung jawab ini disebut juga tanggung jawab yang sah.

4.3.2. Jenis Tanggung Jawab yang Sah
Tanggung jawab yang sah secara garis besar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
a.       Tanggung jawab sipil / perdata, yaitu tanggung jawab yang sah yang realisasinya biasanya dilakukan oleh satu pihak (penggugat) melawan pihak lain (tergugat) yang dinyatakan bersalah. Dimana keputusan hukumnya berupa : penggantian kerugian kepada pihak yang dirugikan (penggugat). Dimana pengadilan memutuskan perkara yang diajukan oleh pihak yang berperkara dan atas biaya mereka sendiri.
b.      Tanggung jawab umum / pidana, dimana berlakunya tanggung jawab ini kepada yang bersangkutan diajukan oleh petugas pelaksana hukum (”Jaksa Penuntut Umum”) atas nama masyarakat / umum / Negara terhadap individu maupun usaha bisnis, yang diduga harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
Dimana keputusan hukumnya berupa denda atau penjara, yang harus dibayar / dijalani oleh tersangka.
Bila ancaman hukumannya cukup berat dan si tersangka tidak mampu membayar pengacara, maka pengacara disediakan dan dibayaroleh Pemerintah.

4.3.3. Sumber Tanggung Jawab Sipil
Tanggung jawab sipil yang harus dipikul seseorang atau suatu badan dapat timbul karena berbagai sebab / sumber, yang antara lain terdiri dari :
a.       Yang timbul dari kontrak, yaitu antara lain yang timbul karena pelanggaran atau pembatalan atas kontrak yang telah disetujuinya.
b.      Yang timbul dari kelalaian atau kesembronoan, yang meliputi :                      
1.      Kelalaian yang disengaja, misalnya berupa : pelanggaran, salah tangkap, penyerangan, memfitnah, mengumpat dan sebagainya.
2.      Kelalaian yang tidak disengaja, yaitu akibat dari tindakan yang sembrono, misalnya : memasang stroom pada pagar.
3.      Subyek kesembronoan yang menimbulkan tanggung jawab yang sempurna, seperti berupa gangguan pribadi, kecelakaan industri, kecelakaan kendaraan bermotor.
c.       Yang timbul dari penipuan atau kesalahan, misalnya : keringanan keputusan dari yang seharusnya, kekurangan penggantian kerugian, membuat kontrak pura-pura.
d.      Yang timbul dari tindakan atau aktivitas yang lain, seperti : kebangkrutan, penyitaan, perwaliandan sebagainya.

4.3.4. Cara Menentukan Tanggung Jawab Sipil
Dalam menentukan tanggung jawab sipil peraturan hukum berpegang pada prinsip :  ”perlindungan hukum hanya diberikan pada orang-orang yang dapat membuktikannya”.
Karena prinsip tersebut maka pihak-pihak yang berperkara harus menangani kepentingannya sendiri atau menggunakan pengacara yang profesional, agar dapat membuktikan bahwa dialah yang memang berhak. Sebab hanya dengan kekuatan, ketelitian, kecermatan dan kebijaksanaan orang yang berperkara dapat menang.
Dalam proses penentuan tanggung jawab yang sah atau hak maka :
1.      Pihak pengadilan / hukum tidak akan memberikan keadilan secara khusus, artinya pengadilan akan memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk dapat ”menentukan / membuktikan sendiri” atas hak-haknya, melalui pembuktian bahwa ”dia yang benar”.
2.      Hak-hak sipil tidak serta merta dilindungi, kecuali bila yang bersangkutan mengajukan permohonan untuk itu. Jadi pengadilan tidak serta menentukan siapa yang berhak tanpa ada permohonan untuk itu.
3.      Ada batas ”kadaluwarsa”, artinya ada batas waktu penuntutan penentuan suatu hak.
4.      Para pihak harus tunduk pada peraturan yang berlaku dalam proses penentuan hak.
Dengan demikian penggugat bertanggung jawab untuk dapat membuktikan secara memuaskan agar berhasil gugatannya, dengan ”jumlah bukti yang lebih besar” dari pada bukti yang diajukan oleh tergugat, karena dalam penentuan hak ini dianut azas ”Hes Ipsa Loquitur” (= ”Sesuatu yang berbicara pada dirinya sendiri”).
Penentuan hak ini dapat juga diselesaikan di luar pengadilan (dengan ”Dading”).

4.3.5. Sifat Kerugian
Kerugian / kerusakan yang diderita oleh seseorang yang dapat menimbulkan tanggung jawab yang sah pada pihak lain dapat digolongkan ke dalam :
a.       Kerugian yang bersifat ”khusus / spesial”, yang biasanya mudah diketahui, misalnya : kehilangan hak milik, biaya perbaikan dan sebagainya.
b.      Kerugian yang bersifat ”umum”, yang biasanya tidak langsung dapat diketahui pada saat peristiwa terjadi; misalnya: suatu kerugian mungkin diikuti kehilangan-kehilangan yang tidak dapat diukur secara langsung, seperti : kepedihan hati, rasa kehilangan dan sebagainya (kerugian immateriil).
Dalam proses hukum penentuan hak/besarnya kerugian kedua macam kerugian tersebut dapat dinilai sebelum proses pemeriksaan di pengadilan. Dalam hal ini termasuk juga hal-hal yang dimungkinkan akan terjadi di masa yang akan datang.

4.3.6. Konsep Tanggung Jawab atas Kelalaian
Lalai atau ”tort” berasal dari kata ”tortus”, yang artinya ”membelit”, yaitu tingkah laku yang berbelit dan tidak jujur. Salah / lalai atau tort adalah kesalahan sipil yang dapat diperbaiki dengan tindakan pemberian ”ganti rugi”.
Lalai adalah tindakan tidak sah yang dapat menjangkau apa saja yang tidak terjangkau oleh hukum pidana. Jadi tindakan-tindakan tidak sah yang bukan kejahatan, bukan pelanggaran hak milik dan sebagainya.
1.      Lalai dengan sengaja, yaitu tingkah laku yang disengaja, tetapi tidak dengan niat menghasilkan konsekuensi yang terjadi, yang mungkin merugikan orang lain.
Contoh      :           Seorang salesman yang mendemontrasikan obat serangga berupa cairan yang disemprotkan. Dimana hal itu dilakukan di depan orang yang alergi terhadap obat serangga tersebut. Tentu saja hal itu akan mengakibatkan penderitaan orang yang ditawari.
Kelalaian semacam ini antara lain berupa :   
¨    pelanggaran, misalnya memasuki halaman orang lain tanpa ijin,
¨    pengubahan, misalnya: menjadikan milik orang lain menjadi miliknya sendiri,
¨    serangan, misalnya: mengancam orang lain,
¨    kesalahan hukum, misalnya: penangkapan tanpa dasar hukum,
¨    pencemaran nama baik, misalnya : memfitnah (secara tidak langsung), mengumpat (secara langsung).
2.      Kelalaian yang tidak disengaja (sembrono), yaitu berupa kegagalan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (yang seharusnya dilakukan), karena kekurang hati-hatiannya, sehingga mengakibatkan kerugian.
Contoh   :    Seorang dokter tentu sudah tahu bahwa ada sementara orang yang tidak tahan terhadap ”pinicilin”, sehingga ia harus selalu menyediakan obat penangkalnya. Pada suatu ketika dia mengobati pasiennya dengan ”pinicilin” yang ternyata si pasien tidak tahan dan si dokter tidak dapat segera memberikan pertolongan, karena persediaan obat penawarnya sedang habis.
Untuk membedakan apakah kelalaian itu disengaja atau tidak harus dilihat maksud dari tindakan terdakwa. Bila tindakan tersebut karena kurang hati-hati sehingga mengakibatkan orang lain menderita, dikategorikan sebagai kelalaian yang tidak disengaja atau tindakan yang ”ceroboh”.
Unsur-unsur suatu kelalaian dapat dikategorikan sebagai ceroboh antara lain :
a.       adanya kewajiban (legal) untuk berbuat atau tidak berbuat, artinya terdakwa seharusnya menggunakan kewajiban legalnya untuk memperhatikan tingkah lakunya yang dapat menimbulkan kerugian / persoalan,
b.      pelanggaran terhadap kewajiban legal, yaitu melanggar kewajiban legal yang berlaku untuk orang yang berpikiran bijaksana,
c.       kedekatan antara penyebab pelanggaran terhadap kewajiban dan kerugian yang diderita,
d.      adanya kerugian yang terus-menerus, misalnya : shok karena tindakan terdakwa.
3.      Kesalahan, yaitu kerugian yang mengakibatkan orang / perusahaan harus bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang timbul.

4.3.7. Pembelaan
Dalam proses penentuan kewajiban ada kemungkinan terdakwa / tergugat dapat mengajukan atau menunjukkan bahwa ia tidak sembrono, sehingga dia tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh penuntut. Artinya tergugat dapat membeia diri, bahwa dia tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang telah terjadi.
Pembelaan atau kebebasan tanggung jawab pada prinsipnya hanya dimungkinkan bila menyangkut 3 hal, yaitu :
1.      Adanya asumsi risiko, yaitu bila bisa diasumsikan bahwa si penuntut sudah mengetahui risiko yang dihadapi berkaitan dengan hal yang berhubunga dengan tergugat.
Contoh   :    Seorang sopir pribadi tidak bertanggung jawab terhadap kerugian majikannya akibat mobil yang dikemudikan rusak karena tabrakan. Jadi terhadap kerugian tersebut si majikan tidak dapat menuntut ganti rugi pada sopirnya, karena diasumsikan bahwa si majikan sudah menyadari risiko yang dihadapi dengan penggunaan sopir pribadi.
2.      Membandingkan sumbangan dari kesembronoan terhadap kerugian, Hal ini berlaku bila diduga bahwa penggugat maupun tergugat kedua-duanya sembrono, sehingga menimbulkan kerugian.
Dalam menentukan tanggung jawab biasanya dipertimbangkan seberapa jauh yang bersangkutan berupaya untuk menghindari kerugian yang sebetulnya mungkin dilakukan.
3.      Lembaga-lembaga pemerintahan dan institusi-institusi yang bersifat sosial.
Prinsipnya petugas pemerintah dan institusi sosial mempunyai kekebalan terhadap kewajiban mengganti kerugian yang diderita oleh pihak lain, akibat perbuatannya dalam melakukan tugas kewajibannya.
Dalam perkembangan dewasa ini hal itu bersifat relatif, artinya tergantung kasusnya. Jadi kadang-kadang tetap harus bertanggung jawab tetapi mungkin juga tidak. Dengan adanya pengadilan tata usaha negara (PTUN) menunjukkan bahwa petugas / lembaga pemerintah tidak serta-merta bebas terhadap tanggung jawab atas tindakannya yang merugikan orang / pihak lain.

4.3.8. Tanggung jawab yang berhubungan dengan perbuatan orang lain
Tanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang lain yang seakan-akan dilakukan sendiri mencakup :
a.       Tanggung jawab yang timbul karena tindakan karyawannya sendiri.
Sampai seberapa jauh tanggung jawab majikan terhadap tindakan karyawannya tergantung pada tingkat pengawasan yang dapat dilakukan perusahaan / majikan terhadap tindakan karyawannya tersebut.
b.      Tanggung jawab yang timbul karena hubungan kontrak/kerjasama antara pelaku dan perusahaan.
Dalam hal ini prinsipnya: kontraktor bertanggung jawab atas terjadinya kerugian pada proyek yang ditanganinya.
Mungkin juga tanggung jawab atas kerugian tersebut dapat dibebankan kepada karyawannya sendiri yang berhubungan dengan kontraktor tersebut. Dengan alasan antara lain :
1.      kegagalannya dalam memilih kontraktor yang tepat,
2.      yang bersangkutan juga harus ikut bertanggung jawab atas kelalaiannya kalau hubungan dengan kontraktor itu merupakan kerjasama.

4.3.9. Tanggung Jawab Terhadap Kontrak
Perbuatan yang merugikan yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu kontrak dikategorikan sebagai ”pelanggaran”. Dalam hal ini prinsipnya siapa yang berbuat tidak sesuai dengan isi kontrak, sehingga menimbulkan kerugian, bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

4.3.10. Tanggung Jawab Menurut Undang-undang / Peraturan
Semua negara tentu membuat peraturan / undang-undang tentang tanggung jawab dari tindakan-tindakan tertentu yang dapat merugikan orang lain. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain :
a.       Hukum penjualan : penjual bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak ketiga atas penjualan barangnya.
Contoh   :    Penjual minuman keras bertanggung jawab atas kerugian orang lain akibat ulah pembelinya yang mabuk.
b.      Tanggung jawab orang tua terhadap kenakalan anaknya.
Pada prinsipnya orang tua tidak bertanggung jawab terhadap tingkah laku / kenakalan anaknya.
Dalam praktek hal ini tidak mutlak, artinya dalam kondisi tertentu orang tua bertanggungjawab terhadap ulah anaknya yang merugikan orang lain.
c.       Tanggung jawab pemelihara binatang.
Pemilik binatang peliharaan bertanggung jawab atas kerugian atas ulah binatang peliharaannya, terutama hewan peliharaan yang berupa binatang buas. Tetapi bila hewan peliharaannya berupa binatang jinak / ternak (misalnya : anjing, kucing, ayam) untuk menentukan tanggung jawabnya harus dibuktikan terlebih dahulu adalah ada tidaknya unsur kelalaian dari si pemilik.

4.3.11. Seluk-beluk Tanggung Jawab dan Masalahnya

4.3.11.1. Tanggung Jawab yang Muncul dan Kepemilikan Real Es
Tanggung jawab pemilik real estate kepada orang yang berkunjung ke real estatenya tergantung pada status dari pengunjung pada saat melakukan kunjungan, yang dapat dibedakan ke dalam :
a.         Pelanggar : yaitu orang yang tidak berhak masuk ke real estate orang lain, yang masuk tanpa diundang. Jadi yang datang / masuk untuk maksudnya sendiri, yang umumnya tidak ada minat yang sama antara pemilik dan si pengunjung. Dalam hubungan ini hukum mengasumsikan bahwa pemilik mempunyai hak untuk merasa aman dan damai di real estatenya sendiri, tanpa ada gangguan dari pihak lain. Maka dari itu pemilik real estate tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pelanggar tersebut. Kecuali apabila :
1.      pemilik mengenal si pelanggar,
2.      dalam kaitannya dengan doktrin ”gangguan” berkaitan dengan anak-anak.
Doktrin gangguan yang berkaitan dengan anak-anak adalah berkaitan dengan kondisi / keadaan yang menarik bagi anak-anak. Doktrin ini menentukan :
2.a.  tempat dimana kondisi yang menarik anak-anak itu dipelihara diketahui oleh pemilik,
2.b. pemilik mengetahui dan menyadari adanya risiko yang layak yang dapat mengakibatkan kematian / kerugian phisik yang serius pada anak-anak,
2.c.  adanya kecenderungan bahwa anak-anak tidak menyadari adanya risiko yang membahayakan,
2.d. pemilik tidak melakukan pengamanan yang memadai terhadap kondisi yang berbahaya yang dapat menimpa anak-anak.
Bila terdapat salah satu dari keempat unsur tersebut maka pemilik real estate bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut.
b.        Pemilik ijin : yaitu mereka yang diijinkan masuk ke real estate tanpa ada hubungan kontrak / bisnis dengan si pemilik, artinya tidak untuk mencari keuntungan bagi kedua belah pihak.
Dalam keadaan yang demikian ini pemilik real estate bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pemilik ijin atas kelalaiannya untuk menjaga keselamatan pemilik ijin.
c.         Pengunjung : yaitu orang yang datang berkunjung untuk berbisnis dengan pemilik real estate.
Dalam kondisi ini pemilik real estate bertanggung jawab penuh atas kerugian yang diderita pengunjung sebagai akibat kondisi real estatenya.
Contoh  :    Seorang yang datang berbelanja ke sebuah toko, yang mengalami kerugian karena kondisi dari toko, maka si pemilik toko bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.
                   Misalnya pengunjung yang kepleset, sehingga mengalami patah tulang disebabkan lantai toko yang kurang bersih.

4.3.11.2. Tanggung Jawab yang Muncul dari Gangguan Terhadap Pribadi atau Masyarakat
Perusahaan dapat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kerugian pribadi atau masyarakat akibat dari real estate miliknya tidak dapat melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya. Artinya perseorangan atau masyarakat menjadi terganggu atas perilaku dari real estate. Hal ini meliputi :
a.       Gangguan Publik : misalnya pembuatan konstruksi jalan yang tidak aman oleh kontraktor, kecurangan transaksi bisnis yang menyangkut kepentingan masyarakat. Gangguan yang demikian ini menimbulkan tanggung jawab yang bersifat kriminal / pidana.
b.      Gangguan Pribadi : yaitu gangguan-gangguan yang menimbulkan kerugian pada seseorang, yang menimbulkan tanggung jawab sipil.
Contoh   :    peledakan bangunan untuk renovasi, pengeboran minyak bumi, pemasangan pipa saluran air dan sebagainya yang dapat menganggu kepentingan pribadi orang lain.
Dalam kasus yang demikian ini perusahaan yang melaksanakan pekerjaan itu bertanggung jawab secara mutlak.

4.3.11.3. Tanggung Jawab vang Muncul dari Penjualan, Pembualan dan Distribusi Barang / Jasa
Adalah kewajiban legal yang melibatkan janji dan kewajiban dari penjual sesuai dengan penjualan barang / jasa. Apabila dalam melaksanakan janji / kewajiban tersebut ada hal-hal yang merugikan pembeli / pengguna, termasuk di dalamnya pengiriman, pemasangan dan pemeliharaan yang tidak sebagaimana mestinya, maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab penjual.
Hal ini meliputi :
a.       Pelanggaran terhadap garansi yang muncul dari kontrak penjualan, yang mencakup :
1.      garansi, baik yang eksplisit maupun implisit,
2.      kondisi dimana pembeli mempunyai kesan atau dapat mengidentifikasi bahwa barang yang dibeli dapat memenuhi tujuan pokoknya,
3.      jaminan terhadap kualitas minimum tertentu, misalnya bebas dari cacad yang tersembunyi.
b.      Tanggung jawab yang muncul dari kesembronoan.
Contoh   :    Kerugian yang timbul karena kesembronoan perusahaan pengalengan ikan, minuman, sehingga produknya mengandung zat-zat yang merusak.
c.       Tanggung jawab terhadap kerugian yang timbul karena produknya yang merusak, yang bukan karena kesembronoannya.
Contoh   :    Perusahaan asbes bertanggung jawab atas sakit ”Asbestoris”, yaitu sakit sesak nafas yang diakibatkan oleh mengumpulnya debu-debu asbes dalam saluran pernafasan.

4.3.11.4. Tanggung Jawab yang Muncul dari Hubungan Fiducier
Dalam hubungan fiducier pemegang fiducier bertanggung jawab penuh atas kepercayaan yang diembannya.
Contoh  :    1.  Tanggung jawab Dewan Direktur dalam mengelola aset perusahaan untuk kepentingan pemegang saham, yang meliputi perawatan dan kesetiaan / loyalitas.
                   2.  Tanggung jawab dari para manajer terhadap pelaksanaan rencana yang telah dibuat oleh panitia / pimpinan.

4.3.11.5. Tanggung Jawab Para Profesional
Berkaitan dengan kemashuran dan keahlian yang dimiliki dalam pengetahuan khusus sebagai hasil keahliannya (ahli hukum, dokter, akuntan) para profesional bertanggung jawab terhadap kerugian akibat dari penerapan keahlian mereka.
Contoh: Dalam dunia kedokteran : kerugian karena ”malpraktek”.
Masalah ini memang cukup rumit pemecahannya, karena :
1.      tidak mudah mengidentifikasi dan mengartikan malpraktek,
2.      perubahan teknologi yang cepat, sehingga apa yang benar pada beberapa waktu yang lalu belum tentu benar pada saat sekarang.

4.3.11.6. Tanggung Jawab yang Muncul karena Penggunaan Kendaraan Bermotor
Yaitu tanggung jawab atas kerugian-kerugian yang timbul akibat kecelakaan kendaraan bermotor (termasuk juga kendaraan lainnya), yang bertanggung jawab bisa:
a.       Pengemudi : yang bertanggung jawab terhadap kerugiannya apabila kecelakaan itu akibat kesembronoannya.
b.      Pemilik kendaraan / Majikan : yaitu apabila pada saat terjadi kecelakaan pengemudi bertindak atas suruhan dari pemilik / majikan.
Kesulitan yang dihadapi bila kerugian itu menjadi tanggung jawab pengemudi adalah kemampuan keuangannya untuk membayar ganti rugi, karena umumnya para pengemudi kemampuan keuangannya sangat terbatas.
Di Indonesia masalah ini di coba di atasi dengan adanya lembaga asuransi sosial, yang khusus memberikan santunan kepada korban kecelakaan lalu-lintas, yang dikelola PT. Jasa Raharja.

4.4. TANGGUNG JAWAB ATAS KERUGIAN PERSONIL
4.4.1. Pengantar
Perusahaan juga harus bertanggung jawab terhadap kerugian personil (”Personnel Loss Exposures”) baik yang menimpa karyawannya maupun keluarga dari karyawan yang bersangkutan. Kerugian tersebut mencakup kerugian karena karyawan atau keluarganya mengalami kecelakaan, meninggal dunia, mencapai usia tua, sakit atau kehilangan pekerjaan karena berbagai sebab. Dalam peristiwa-peristiwa yang demikian, baik karyawan maupun keluarga akan ikut menderita atas kerugian tersebut, maka adalah wajar bila seorang manajer terutama Manajer Risiko harus memberikan perhatian yang sama terhadap kerugian yang diderita karyawan maupun yang menimpa keluarganya. Jadi dalam mengelola risiko Manajer Risiko harus memperhitungkan risiko yang demikian ini. Maka dari itu ”Business Risk Management” mencakup pula ”Family Risk Management”.

4.4.2. Alasan Perusahaan Memperhatikan Kerugian Personil
Alasan mengapa perusahaan harus memperhatikan kerugian personil baik yang dialami karyawan maupun keluarganya antara lain adalah :
1.      Untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang berkualitas tinggi.
2.      Untuk meningkatkan moral dan produktivitas kerja karyawan.
3.      Sebagai salah satu materi dalam perjanjian kerja bersama dengan karyawan / organisasi karyawan, yaitu yang menyangkut jaminan kesejahteraan karyawan.
4.      Memanfaatkan keuntungan yang diberikan oleh sistim perpajakan yang berkaitan dengan pemberian jaminan sosial.
5.      Sebagai upaya untuk memperbaiki kesejahteraan karyawan, di luar gaji / upah yang diberikan.
6.      Untuk membangun citra baik perusahaan mengenai pengelolaan terhadap sumber daya manusia / karyawan.
7.      Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan.
8.      Sebagai alasan bagi perusahaan yang tidak mau mengikut sertakan karyawannya dalam program asuransi sosial tenaga kerja (”Asuransi'Tenaga Kerja” = ”Astek”).

4.4.3. Hubungan Majikan dengan Karyawan
Perhatian yang diberikan oleh perusahaan terhadap kerugian (terutama finansiil) yang diderita oleh karyawannya pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk memelihara dan membina hubungan yang baik / harmonis antara majikan / perusahaan dengan karyawannya. Dimana dengan kebijaksanaan tersebut antara lain akan dapat : menarik karyawan baru yang berkualitas tinggi, meningkatkan loyalitas karyawan kepada perusahaan, dapat mengurangi ”turn over”, pemogokan dan sebagainya. Di samping itu kebijaksanaan tersebut juga akan dapat : meningkatkan produktivitas kerja karyawan karena dengan demikian mereka terbebas akan rasa was-was terhadap risiko yang dapat menimpanya, termasuk bila nanti harus berhenti bekerja karena usia maupun karena ketidakmampuan. Jadi dengan memperhatikan kesejahteraan karyawan akan meningkatkan keutungan perusahaan, sebab mereka akan berupaya meningkatkan produktivitas kerjanya.
Perhatian perusahaan terhadap masalah kesejahteraan karyawan telah mengalami perkembangan yang pesat, terutama sesudah Perang Dunia II, hal itu antara lain :
1.       Pengawasan terhadap masalah pengupahan sejak Perang Dunia II langsung ditujukan kepada masalah kesejahteraan karyawan dalam menilai kondisi ketenaga kerjaan (”em­ployment”).
2.       Perkembangan tingkat harga semenjak tahun 1949-an mengurangi peranan ”harga” sebagai kekuatan alasan organisasi-organisasi buruh untuk menuntut kenaikan upah.
Artinya kenaikan harga tidak bisa lagi dipakai sebagai alasan yang signifikan untuk menuntut kenaikan upah.
3.       Tingginya pajak pendapatan menarik minat majikan untuk memberikan sebagian keuntungan perusahaan kepada karyawan tidak berupa upah, tetapi berupa peningkatan kesejahteraan, yang dapat diperhitungkan sebagai unsur biaya dan dapat mengurangi sisa pendapatan kena pajak.

4.4.4. Kategori Tanggung Jawab Terhadap Kerugian Personil
Tanggung jawab terhadap kerugian personil dapat dibagi dalam 2 kategori, yaitu :
1.      Kerugian personil yang berkaitan langsung dengan aktivitas perusahaan.
2.      Kerugian personil yang tidak ada kaitan ataupun kalau ada secara tidak langsung dengan aktivitas perusahaan.

4.4.4.1. Kerugian Personil yang Berkaitan Langsung dengan Aktivitas Perusahaan
Tanggung jawab perusahaan terhadap kerugian personil yang berkaitan langsung dengan aktivitas perusahaan pada hakekatnya merupakan tanggung jawab majikan terhadap karyawan yang melaksanakan pekerjaan yang dia bebankan. Tanggung jawab tersebut biasanya akan terlihat pada ketentuan-ketentuan hubungan kerja antara buruh dan majikan.
Dalam melaksanakan pekerjaan seorang karyawan akan menghadapi kemungkinan :
a.       harus bertanggung jawab terhadap kerusakan / kerugian yang diakibatkan oleh kesembronoannya dalam bekerja,
b.      terpaksa menderita secara phisik dan kerugian materi yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja.
Sebalikanya dalam hubungan kerja dengan karyawan pihak majikan / perusahaan :
a.       harus tunduk kepada undang-undang tentang hubungan perburuhan, jaminan sosial dan keselamatan kerja,
b.      pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikenakan sangsi pidana maupun perdata.
Di samping itu dalam rangka pengelolaan sumber daya manusia yang baik majikan / perusahaan juga berkewajiban :
a.       melengkapi tempat kerja dengan syarat-syarat atau sarana guna menjaga keselamatan kerja yang layak,
b.      memperhatikan sifat phisik dari karyawan yang dikaitkan dengan keselamatan kerja,
c.       menghindarkan karyawan dari keadaan bahaya, misalnya melatih karyawan untuk menanggulangi keteledoran.
Pada pokoknya ada 4 macam ganti rugi sebagai wujud tanggung jawab majikan / perusahaan terhadap karyawan, yaitu :
1.       Pemeliharaan kesehatan, yaitu pengobatan untuk sakit yang diakibatkan oleh pekerjaan dilakukan.
2.       Santunan terhadap cacad yang diderita karyawan, akibat dari kecelakaan kerja.
3.       Santunan kematian, yaitu untuk karyawan yang meninggal karena kecelakaan kerja.
4.       Biaya rehabilitasi, yaitu biaya yang diperlukan untuk pemulihan kesehatan maupun keterampilan yang menurun akibat kecelakaan kerja.

4.4.4.2. Kerugian Personil yang Tidak Berkaitan dengan Aktivitas Perusahaan
Karyawan (juga keluarganya) juga menghadapi risiko kerugian potensiil dari menurunnya kemampuan memperoleh pendapatan dan meningkatnya pengeluaran-pengeluaran yang tidak terduga, sebagai akibat seorang karyawan : meninggal dunia (kematian), kesehatan yang menurun, menganggur maupun karena usia tua.

4.4.4.2.1. Kematian
Kerugian utama yang diderita oleh keluarga dari karyawan yang mati dini (”premature death”) adalah hilangnya sumber penghasilan (”earning power”). Berapa besar kerugian finansiil yang diderita oleh keluarga yang ditinggalkan dapat diestimasikan dengan cara sebagai berikut :
1.      perkiraan penghasilan bersih yang diterima setiap bulan / tahun seandainya dia tidak meninggal sampai masa pensiun,
2.      dikurangi dengan biaya-biaya yang diperlukan untuk memelihara kehidupan / kemampuannya selama itu,
3.      dihitung ”present value” dari sisanya.

4.4.4.2.2. Kesehatan yang Menurun
Adalah suatu hal yang wajar bila seseorang karena sesuatu hal pada suatu ketika kondisi kesehatannya menurun. Bila hal ini terjadi ada 2 macam kerugian yang diderita, yaitu :
1.      berkurang atau hilangnya sumber penghasilan karena ketidakmampuan atau berkurangnya kemampuan,
2.      biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk biaya pengobatan atau upaya merehabilitasi.
Bila ketidakmampuannya bersifat tetap / selamanya maka kerugiannya akan sama dengan karena kematian, sedang kalau bersifat sementara, maka kerugian hanya selama kemampuannya belum pulih kembali.

4.4.4.2.3. Pengangguran
Yang dimaksud dengan pengangguran disini adalah pengangguran yang ”terpaksa” (”in­voluntary unemployment”), yaitu pengangguran yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, yang merupakan salah satu penyebab hilangnya sumber pendapatan seseorang / karyawan.
Pengangguran dapat dibedakan ke dalam :
a.       Pengangguran menyeluruh (”agregate unemployment”), yaitu pengangguran yang menimpa seluruh sektor kehidupan ekonomi.
b.      Pengangguran selective atau struktural, yaitu pengangguran yang hanya menimpa suatu sektor / daerah perusahaan, industri, kelompok karyawan atau daerah tertentu saja.
c.       Pengangguran pribadi, yaitu pengangguran yang hanya menimpa seseorang secara individual.

4.4.4.2.4. Pensiun
Kerugian finansiil karena pensiun tidak segawat seperti kerugian finansiil sebagai akibat kematian atau pengangguran. Sebab disini kerugiannya hanya berupa berkurangnya jumlah penghasilan. Tetapi meskipun demikian masalah ini sering dihadapi oleh kebanyakan orang pada akhir-akhir masa kehidupannya. Yaitu adanya kegelisahan yang sering kita jumpai pada orang-orang yang mendekati masa pensiun.
Masalah ini biasanya diatasi dengan mengadakan tabungan untuk hari tua. Tetapi tidak semua orang dapat melakukannya, karena berbagai sebab, misalnya : karena penghasilannya memang tidak berlebihan (pas-pasan), sehingga tidak mungkin menabung; karena pola hidupnya pada masa aktif bekerja dan sebagainya.

4.4.5. Kerugian yang Menimpa Perusahaan itu Sendiri
Seorang Manajer Risiko juga harus memperhitungkan kemungkinan kerugian potensiil yang diderita oleh perusahaan itu sendiri sebagai akibat peril yang menimpa seseorang, yaitu kematian atau ketidak mampuan karyawan, langganan atau pemilik perusahaan. Kerugian-kerugian semacam ini dapat diklasifikasikan kedalam :
1.      ”Key-Person Losses” :
Yaitu kerugian akibat kematian atau ketidak mampuan seseorang yang mempunyai posisi ”kunci” dalam menentukan keberhasilan dan kelancaran operasi perusahaan. Contoh : Kreditur dalam memberikan kredit biasanya sangat memperhatikan siapa yang mempunyai posisi kunci pada perusahaan debitur, sehingga kematian orang tersebut akan mempengaruhi kepercayaan kreditur tersebut.
2.      ”Credit Losses” :
Banyak perusahaan yang menjual produknya dilakukan dengan secara kredit, lebih-lebih perusahaan perbankan. Dimana biasanya kelancaran pembayaran kredit tersebut tergantung pada seseorang yang berperanan penting pada perusahaan penerima kredit. Jadi apabila orang tersebut meninggal dunia atau menjadi tidak mampu bekerja tentu akan sangat mempengaruhi keberhasilan pengumpulan piutang / kredit.
3.      ”Business - Discontinuation Losses” :
Bila orang penting, pemilik atau pemegang saham utama meninggal dunia atau tidak mampu melaksanakan pekerjaan dalam waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan perusahaan untuk sementara tidak bekerja. Kerugian akibat dari keadan ini biasanya cukup berat, baik bagi perusahaan maupun karyawannya dan juga bagi ahli waris / keluarga dari personil yang bersangkutan.
Dalam hubungan dengan kejadian yang demikian ini biasanya kerugian yang diderita tidak hanya kerugian selama perusahaan tidak bekerja, tetapi juga biaya-biaya ekstra yang harus dikeluarkan kalau perusahaan akan bekerja kembali.
Contoh   :    Biaya ekstra untuk upaya menarik kembali langganan yang sudah beralih ke perusahaan lain. Untuk ini biasanya diperlukan biaya promosi yang tidak kecil.

No comments:

Post a Comment